Kepada Yang Terhormat,
Presiden Republik Indonesia
Keselamatan, kasih sayang Allah, dan kebaikan yang tiada henti bertambah semoga dilimpahkan ke atas Ayahanda Presiden,
Sungguh benar bahwa cara terbaik menasehati pemimpin adalah dengan menjumpainya empat mata, menggandeng tangannya, duduk mesra, dan membisikkan ketulusan itu hingga merasuk ke dalam jiwa. Tapi tulisan ini barangkali tak layak disebut nasehat. Yang teranggit ini hanya uraian kecil yang semoga menguatkan diri kami sendiri sebagai bagian dari bangsa ini untuk menghela badan ke masa depan yang temaram.
Mengapa ia di-kepada-kan untuk Ayahanda; harapannya adalah agar huruf-huruf ini kelak menjadi saksi di hadapan Allah dan semesta akan cinta kami kepada Indonesia. Syukur-syukur jika ia mengilhami para pemimpin yang berwenang-berdaulat, untuk melakukan langkah-langkah yang perlu bagi kemaslahatan kami. Dan bermurah hatilah mendoakan kami Ayahanda, agar jikapun kami hanya rumput yang kisut, ia tetap dapat teguh lembut dan tak luruh dipukul ribut bahkan ketika karang pelindung kami rubuh lalu hanyut.
Ayahanda Presiden, izinkan kami memulai hatur-tutur ini dengan sebuah kisah.
Ini adalah masa kepemimpinan Sayyidina 'Umar ibn Al Khaththab, tahun 18 Hijriah. Musim panas berkepanjangan disertai angin kering membawa debu-abu menghantam negeri yang baru saja tumbuh itu. Panen hancur, tetanaman musnah, ternak binasa, diikuti 2 tahun kelaparan yang melanda sebentang jazirah dari Yaman, Hijjaz, Yamamah, hingga Nejd; sementara wabah dari arah Syam turut mengganas hingga ke Madinah.
Masa itu lalu dikenal sebagai ‘Tahun Ramadah’, sebagaimana ditulis Ibn Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, karena bumi tampak hitam kelabu seperti warna ramad (abu jelaga). Ibn Manzhur sebagaimana dikutip dalam Lisanul ‘Arab menyatakan, “Ramada, atau armada; adalah ungkapan jika terjadi kebinasaan. Disebut tahun ramadah sebab musnahnya sebagian manusia, tumbuhan, ternak, dan harta benda pada saat itu.”
Dampaknya yang dahsyat digambarkan Ibn Sa’d dalam Ath Thabaqatul Kubra, “..Hingga manusia terlihat mengangkat tulang yang rusak dan menggali lubang tikus untuk mengeluarkan apa yang ada di dalamnya.” Langkanya bahan pangan membuat harga melambung, sampai Imam Ath Thabary dalam Tarikh-nya menyebut, pada masa itu harga satu bejana susu dan sekantong keju mencapai 40 dirham.
Demikianpun, dinar dan dirham seakan benar-benar tiada guna karena jikapun ada uang berapa saja banyaknya, barang yang hendak dibeli sama sekali tiada. Kita tak lupa, paceklik ramadah terjadi tak berselang lama dari masa ketika perbendaharaan Kisra yang bertimbun-timbun diangkut ke Madinah pada tahun 14 Hijriah, juga hanya sebentar sebakda Syam dan Mesir yang makmur bergabung ke pangkuan Daulah.
Ayahanda Presiden,
Seakan-akan Allah hendak menunjukkan, bahwa ujianNya adalah kepastian berupa secicip ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan untuk memberi kabar gembira pada orang-orang yang sabar. Seakan-akan Allah hendak memperlihatkan, bahwa hari-hari di antara manusia memang dipergilirkan, lapang dan sempitnya, jaya dan prihatinnya. Seakan-akan Allah hendak menampakkan bahwa bahkan dalam Khilafah Rasyidah, masyarakat orang-orang shalih dengan pemimpin yang adil, tidak ada jaminan bebas dari krisis.
Tapi dengan cara ini pula Allah memperlihatkan kualitas seorang pemimpin, kualitas kepemimpinannya, dan kualitas mereka yang dipimpinnya. Inilah kesejatian sebuah peradaban; pada mutu jiwa manusianya, bukan kemewahan hidup dan kemegahan bebangunnya.
Masih tergambar jelas ketika ‘Umar menangis menyaksikan emas dan perak, permata dan sutra, permadani dan pernak-pernik mahal tiba dari Qadisiah dan Madain. Ketika itu ‘Abdurrahman ibn ‘Auf bertanya, “Mengapa engkau menangis wahai Amiral Mukminin? Padahal Allah telah memenangkan agamaNya dan memberikan kebaikan pada kaum mukminin lewat kepemimpinanmu?”
“Tidak demi Allah”, sahut ‘Umar. “Ini pastilah bukan kebaikan yang murni dan sejati. Seandainya ia adalah puncak kebaikan, niscaya Abu Bakr lebih berhak ini terjadi pada masanya daripada aku. Dan niscaya pula, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih berhak ini terjadi pada masa beliau daripada kami.” Lalu ‘Umar terus menangis mengkhawatirkan adanya fitnah yang akan timbul pada ummat Muhammad gegara harta itu. Setelah agak reda dari sesenggukannya, dia berkata, “Betapa amanahnya pasukan ini, dan betapa amanah pula panglimanya, Sa’d ibn Abi Waqqash.”
“Ini semua karena engkau”, sambut ‘Ali ibn Abi Thalib, “Tak menyimpan di dalam hatimu sebersitpun hasrat pada kekayaan dunia itu. Seandainya saja di dalam dadamu ada setitik saja syahwat terhadap perbendaharaan harta itu, niscaya pasukanmu akan saling bunuh demi memperebutkannya.”
Empat tahun kemudian kala menyaksikan Ramadah, ‘Umar kembali menangis. “Akankah ummat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam binasa di bawah kepemimpinanku?”, gerunnya berulang-kali. Saat itu, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf pula menguatkannya. “Tidak wahai Amirul Mukminin. Betapa telah berbedanya keadaan disebabkan keberkahan kepemimpinanmu?”
“Apa maksudmu wahai ‘Abdurrahman?”, sahut ‘Umar.
“Tidakkan kau perhatikan musibah dan orang-orang ini? Seandainya bencana ini terjadi di masa jahiliah, niscaya kaum Arab kesemuanya pasti sudah saling bunuh untuk memperebutkan sebulir gandum atau setetes air. Tapi lihatlah mereka ini; mereka semua bersabar dan teguh, mereka menangis tapi ridha kepada takdir Allah, mereka saling berbagi dengan mengutamakan saudaranya, serta bahu-membahu menghadapi semuanya dengan ketabahan yang takkan terbayangkan di masa dahulu.”
Pada zaman itu; bersebab kualitas manusianya, dalam krisispun jiwa mereka tampak berkilau, bersinar dari celah-celah berkah. Dalam makmur ataupun paceklik, suka dan duka, lapang serta sempit; mereka menunjukkan kualitas mental tertinggi yang akan menjadi modal peradaban Islam hingga abad-abad berikutnya. Ayahanda Presiden yang terhormat; andai diizinkan lancang memberi usul, betapa indah kalau program Revolusi Mental merujuk ke zaman ini.
***
Sementara itu Ayahanda,
Dalam makalahnya untuk Conference on Monetary Policy and Financial Stability in Emerging Markets di Istanbul, 13-15 Juni 2014, Guru Besar Ekonomi Harvard-Kennedy School, Jeffrey Frankel merujuk kisah Nabi Yusuf 'Alaihis Salaam tentang tafsirnya atas mimpi sang raja; tujuh sapi kurus yang memakan tujuh lembu gemuk dan tujuh runggai gandum yang segar penuh bulir serta tujuh tangkai yang kering lagi kopong.
"Supaya kalian bertanam 7 tahun sebagaimana biasa. Maka apa yang kalian tuai hendaklah kalian biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kalian makan. Kemudian sesudah itu akan datang 7 tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kalian simpan untuk menghadapi tahun-tahun paceklik, kecuali sedikit dari bibit gandum yang kalian simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan dengan cukup dan di masa itu mereka memeras anggur." (QS Yusuf [12]: 47-49)
Frankel menggambarkan, seakan daur itu suatu pola yang dapat kita gunakan untuk membaca datang dan perginya paceklik di zaman kita. Dia menyebutnya, The Joseph Cycle.
Selama tujuh tahun antara 1975 hingga 1981, Oil Booming melimpahkan lonjakan pendapatan pada negara-negara penghasil minyak. Minyak mendapat gelar baru; emas hitam, dan istilah 'petro dollar' menggambarkan kekayaan negeri-negeri yang berlipat karenanya. Seakan menepati Daur Yusuf, setelah itu terjadi krisis utang global yang bermula di Meksiko pada tahun 1982. Hingga 1989, tahun-tahun ini disebut sebagai The Lost Decade di Amerika Latin.
Di rentang tahun 1990-1996, pola yang mirip terjadi lagi di kala muncul gejala emerging markets booming. Negara-negara berkembang mengalami pertumbuhan ekonomi yang dahsyat selama 7 tahun. Julukan Asian Tigers bagi mereka, di mana Indonesia dimasukkan sebagai salah satunya, mewarnai satu zaman yang gempita oleh apa yang disebut sebagai Asian Economic Miracles. Namun segera setelah itu terjadi krisis ekonomi Asia pada tahun 1997, yang seakan melibas dan membawa pada financial droughts hingga 7 tahun berikutnya.
Menurut Frankel dalam presentasinya yang bertajuk “What will happen to EMs when the Fed tightens?” itu, pola yang sama akan kembali terulang dalam rentang 2004-2018 ketika terjadi financial markets booming yang ditandai dengan maraknya produk derivatif lengkap dengan segala rekayasa keuangannya. Istilah “Carry Trade” dan perkembangan negara-negara yang disebut BRICs akan menjadi pemantiknya. Awalnya, selama tujuh tahun pasar keuangan berkembang dengan fantastis. Lagi-lagi seakan menyesuaii Siklus Yusuf, setelah itu kita juga mengalami krisis keuangan global.
***
Ayahanda Presiden,
Baik sesuai Siklus Yusuf atau tidak, dalam lintasan sejarah tampak nyata bahwa kelimpahan dan kesempitan memang datang dan pergi berganti-ganti nyaris secara niscaya. Tak ada negara yang terjamin bebas dari disambangi paceklik. Pun bahkan, sekali lagi untuk menegaskan, jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa; maka pintu keberkahan yang dibukakan dari langit dan bumi tak selalu berbentuk kesejahteraan tanpa jeda, melainkan juga berupa sisipan kesempitan yang membuat manusia kembali bermesra padaNya.
Menghadapi paceklik itu, dalam ketidakpastian tentang seberapa kuat ia akan menghantam, ada di antara kita yang mengkhawatirkan sang krisis. Keterbatasan pemahaman tentangnya dan berbagai gejala yang telah terasa, suka tak suka menimbulkan berbagai kegelisahan dan bahkan pesimisme. Inilah yang dialami sebagian besar masyarakat kini, terlebih mereka yang pernah mengalami tahun-tahun pahit 1997 dan menyisakan trauma dalam hati.
Barangkali mereka yang menginsyafi keniscayaan datangnya krisis itu akan lebih mengkhawatirkan kesiapan kita menghadapinya. Para jamhur ekonomi makro, para cendikia pengamat pergerakan mata uang maupun pasar saham, para winasis yang menyeksamai neraca perdagangan, cadangan devisa, maupun berbagai rasio indikator mungkin akan lebih jernih melihat hal ini.
Dan di luar sang paceklik serta kesiapan menghadapinya, bersebab keterbatasan ilmu penyusunnya, tulisan ini hanya hendak mengajak berbincang tentang sikap menghadapi krisis itu. Sebab sungguh diyakini, nestapa paling malang yang berhasil disikapi pasti menghasilkan sesuatu yang lebih baik dibanding keberhasilan paling gemilang yang gagal disikapi. Bahkan, berhasil menyikapi kegagalan, berlipat baiknya daripada gagal menyikapi keberhasilan.
Sejarah pernah menaburkan teladan-teladan sikap utama dari para mulia di zaman paceklik menyapa mereka. Semoga dengan menyimaknya, kita tertuntun pula menyusuri celah-celah berkah hingga Allah karuniakan kebaikan di masa depan, dunia dan akhirat.
Sebagaimana ditelaah oleh Dr. Jaribah ibn Ahmad Al Haritsi dalam disertasinya di Universitas Ummul Qura Makkah yang meraih predikat summa cum laude, Al Fiqhul Iqtishadi Li Amiril Mukminin ‘Umar ibn Al Khaththab; ada hal-hal menarik dari Sayyidina ‘Umar selaku pemimpin negeri dalam masa Ramadah yang patut dicatat.
Pertama, dia sebagai kepala negara memikul penuh tanggungjawab atas hal tersebut. Bahkan meskipun diyakinkan berulangkali oleh para sahabat bahwa semua yang terjadi merupakan takdir Allah, ‘Umar selalu merasa bahwa pangkal persoalannya adalah kepemimpinan dirinya yang dalam pandangannya amat jauh dari kualitas pribadi yang dimiliki kedua pendahulunya, yakni Rasulullah dan Abu Bakr. Maka ‘Umar selalu takut kepada Allah kalau-kalau ummat ini binasa dalam pemerintahannya. Dengan bercucuran airmata, berulang-kali dia berdoa, “Ya Allah, jangan kau jadikan ummat Muhammad binasa dalam kepemimpinanku.”
Barangkali ada berlapis-lapis alasan bagi ‘Umar dalam paceklik itu, semuanya berupa keadaan yang di luar kendalinya; hujan yang tak turun, anomali musim, panen yang gagal, para pengungsi yang membanjiri Madinah, wabah penyakit yang datang dari arah Syam. Tapi dia memilih untuk bermuhasabah, barangkali dosa dan kelemahannyalah yang jadi persoalan. Alih-alih menyalahkan berbagai hal ataupun pihak, dia menjadi lebih banyak diam, bermuhasabah, dan beristighfar.
Kedua, ‘Umar mengambil sikap untuk bersama rakyatnya dalam keprihatinan. ‘Umar adalah penyuka susu dan keju. Tapi sepanjang 2 tahun Ramadah, dia haramkan untuk dirinya makanan selain roti tepung kasar, garam, dan minyak. Para sahabat menyaksikan bagaimana kulit ‘Umar yang semula putih kemerah-merahan, berubah menjadi kuning kehitam-hitaman bersebab hidup prihatin yang dia paksakan untuk dirinya.
Barangkali hidup sederhana takkan menyelesaikan krisis dan tidak pula memberi solusi kepada paceklik parah itu. Penghematan yang terjadi juga tak signifikan sama sekali. Tapi ketika itulah rakyat akan melihat bahwa sang pemimpin ada bersama mereka, merasakan hal yang sama seperti yang mereka alami. Dengan itu, bertambah tentramlah hati mereka yang dipimpinnya. Ketika rakyat hatinya tenang, bahkan pemimpin yang tak solutif sekalipun akan melihat bahwa rakyatnya punya kemampuan dahsyat untuk mencari solusinya sendiri.
Ketiga, ‘Umar menjadikan masa Ramadah sebagai wahana untuk membangun solidaritas menyeluruh kepada berbagai bangsa yang dipimpinnya. Betapa dia meneladankan langsung mengangkuti tepung, minyak, dan lauk kering untuk para pengungsi dan penduduk Madinah. Dia pula menghimbau dan menyemangati rakyatnya untuk berbagi dan menanggung beban sesama. Dia tepuk-tepuk pundak seorang ‘relawan’ muda bernama Al Ahnaf ibn Qais, yang dengan terus berlari-lari sepanjang hari memenuhi hajat orang-orang, lalu ketika habis tenaganya, dia mengelemprak sembari menangis dan berdoa, “Ya Allah, jangan murka padaku jika masih ada hambaMu yang kelaparan.”
Kita sebagai bangsa juga punya modal sosial yang amat kuat untuk membangun solidaritas itu. Bahkan mungkin kita adalah salah satu negara dengan lembaga kemanusiaan yang amat banyak jumlahnya, bekerja menyalurkan zakat, infak, shadaqah, wakaf, hibah, hadiah, dan bahkan dana CSR dalam berbagai kegiatan sosial. Dukungan dan kebersamaan pemerintah akan kian meneguhkan kita pula sebagai bangsa yang tangguh.
Keempat, ‘Umar terus memikirkan dan merumuskan sistem jaminan sosial yang bisa membuat rakyatnya bertahan di tengah paceklik. Segala sumber daya yang ada di Baitul Maal, diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Dikisahkan bagaimana dia mengumpulkan 60 orang, lalu memasak sejumlah tepung menjadi roti dan daging kering sebagai lauknya lalu mempersilakan mereka makan. Ketika ditanyakan apakah mereka merasa kenyang dengan itu, semua menyatakan ya. Maka ‘Umar memutuskan, sejumlah bahan-bahan yang tadi dimasaklah yang akan diberikan sebagai tunjangan sosial bulanan bagi tiap jiwa yang musnah sumber penghidupannya selama Ramadah.
Kelima, ‘Umar menjadikan sektor pangan sebagai perhatian utama selama krisis dan setelahnya. Dari kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salaam pun didapati bahwa, dalam masa kelangkaan di mana bahkan emas dan perak jadi tak berguna, Mesir selamat karena menata dengan baik konsumsi dan persediaan logistiknya. ‘Umar pun meminta Abu Musa Al Asy’ari untuk mengajarkan kebiasaan kaumnya yang dipuji Rasulullah, yakni; semua keluarga dalam tiap unit masyarakat mengumpulkan bahan pangan yang dimiliki menjadi satu dalam lumbung, kemudian pembagian kembali untuk konsumsi diatur dengan tata laksana gotong-royong yang adil dan penuh kebersamaan.
Inilah kebijaksanaannya; jika lumbung terpusat ala Yusuf tidak relevan untuk negaranya yang membentang dari Gurun Sahara hingga Sungai Indus; maka ketahanan pangan dibangun dalam unit-unit kecil masyarakat. Teknologi budidaya, pemanenan, pengolahan, dan penyimpanan panen di masa berikut kiranya amat membantu lahiriah dari jiwa-jiwa yang berbagi suka dan duka.
‘Umar pula mengunjungi beberapa daerah pantai dan menemui para nelayan. Dengan pujiannya ketika membersamai mereka melaut, “Betapa baiknya cara kalian menjemput rizqi Allah”, dia meminta pelipatgandaan penyediaan ikan dan membiasakan rakyatnya memakan hasil laut. ‘Umar juga melarang segala jenis ternak dan hewan peliharaan diberi makan dengan apa yang dapat dikonsumsi manusia. Dia sangat marah ketika pada sebuah peternakan unta ditemukan kotoran yang mengandung jejak tepung sya’ir.
Keenam, ‘Umar menggesa pembangunan infrastruktur dan jaminan keamanan yang mendukung kelancaran suplai logistik. Pada jalur antara Syam ke Madinah, Kufah ke Madinah, dan bersambung hingga Yaman; didirikan pos-pos penjagaan dan tempat-tempat istirahat kafilah yang memadai. Di tahun berikutnya, setelah melihat lama dan mahalnya angkutan darat dari Mesir ke ibukota, ‘Umar memerintahkan Gubernur ‘Amr ibn Al ‘Ash untuk menggali kanal yang menghubungkan Sungai Nil dengan Laut Merah, sehingga hasil pertanian Mesir yang berlimpah dapat diangkut dengan cepat ke Madinah untuk menekan harganya. Terusan itu tetap berfungsi hingga akhir masa pemerintahan Sayyidina ‘Utsman ibn ‘Affan.
Ketujuh; ‘Umar memberlakukan beberapa kebijakan yang meringankan beban tanggungan masyarakat. Selama masa Ramadah, zakat hewan ternak ditunda penarikannya, pemeroleh jaminan sosial diperluas dari semula bayi tersapih menjadi sejak bayi lahir, bahkan beberapa hukuman ditangguhkan penerapannya termasuk pencurian yang benar-benar bersebab kebutuhan dan tak mencapai nilai seperempat dinar. Sebaliknya, ketika menemukan lahan subur milik para pemuka kaum tak digarap dalam tinjauannya ke Iraq, dia tegas mengultimatum bahwa jika dalam waktu tertentu sang tuan tanah tak menjadikannya produktif, negara berhak menyita dan mengamanahkannya pada yang mampu menanaminya.
Kedelapan, boleh jadi inilah yang terpenting; keberserahan diri ‘Umar kepada Allah dan upayanya dalam memohon pertolongan Allah. Suatu hari di puncak paceklik, digandengnya erat Sayyidina ‘Abbas ibn ‘Abdil Muthalib setelah bersama-sama menunaikan shalat istisqa’. Dengan berlinang dia berkata, “Ya Allah, dulu kami memohon hujan dengan perantaraan NabiMu. Kini kami mohon turunkanlah lagi hujan itu dengan perantaraan doa Paman NabiMu ini.” Tak lama kemudian angin mengarak awan hitam di langit Madinah, dan hujanpun turun dengan deras. Inilah sang pemimpin, dia merunduk pada Allah dan menggandeng erat orang-orang shalih.
Ayahanda Presiden yang terhormat,
Kami akhiri hatur-tutur ini dengan tiga kata yang menggambarkan sifat pemimpin menurut Pujangga Keraton Surakarta, Raden Ngabehi Rangga Warsita, yakni momor, momot, dan momong. Momor berarti hadir, dekat, bersama, menyatu, dan seperasaan dengan yang dipimpin. Momot artinya mampu memuat segala beban, keluhan, dan harapan yang dipimpin. Adapun momong artinya, menjaga, mencukupi, mengasuh, mengasihi, dan mengasah yang dipimpin. Doa kami selalu, semoga Panjenengan nDalem mampu mengemban amanah lebih dari 250 juta manusia yang amat berpotensi menjadi pendakwa, bukan pembela di akhirat sana.
Hamba Allah yang tertawan dosanya,
@salimafillah
FB: Salim A. Fillah
www.salimafillah.com
Presiden Republik Indonesia
Keselamatan, kasih sayang Allah, dan kebaikan yang tiada henti bertambah semoga dilimpahkan ke atas Ayahanda Presiden,
Sungguh benar bahwa cara terbaik menasehati pemimpin adalah dengan menjumpainya empat mata, menggandeng tangannya, duduk mesra, dan membisikkan ketulusan itu hingga merasuk ke dalam jiwa. Tapi tulisan ini barangkali tak layak disebut nasehat. Yang teranggit ini hanya uraian kecil yang semoga menguatkan diri kami sendiri sebagai bagian dari bangsa ini untuk menghela badan ke masa depan yang temaram.
Mengapa ia di-kepada-kan untuk Ayahanda; harapannya adalah agar huruf-huruf ini kelak menjadi saksi di hadapan Allah dan semesta akan cinta kami kepada Indonesia. Syukur-syukur jika ia mengilhami para pemimpin yang berwenang-berdaulat, untuk melakukan langkah-langkah yang perlu bagi kemaslahatan kami. Dan bermurah hatilah mendoakan kami Ayahanda, agar jikapun kami hanya rumput yang kisut, ia tetap dapat teguh lembut dan tak luruh dipukul ribut bahkan ketika karang pelindung kami rubuh lalu hanyut.
Ayahanda Presiden, izinkan kami memulai hatur-tutur ini dengan sebuah kisah.
Ini adalah masa kepemimpinan Sayyidina 'Umar ibn Al Khaththab, tahun 18 Hijriah. Musim panas berkepanjangan disertai angin kering membawa debu-abu menghantam negeri yang baru saja tumbuh itu. Panen hancur, tetanaman musnah, ternak binasa, diikuti 2 tahun kelaparan yang melanda sebentang jazirah dari Yaman, Hijjaz, Yamamah, hingga Nejd; sementara wabah dari arah Syam turut mengganas hingga ke Madinah.
Masa itu lalu dikenal sebagai ‘Tahun Ramadah’, sebagaimana ditulis Ibn Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, karena bumi tampak hitam kelabu seperti warna ramad (abu jelaga). Ibn Manzhur sebagaimana dikutip dalam Lisanul ‘Arab menyatakan, “Ramada, atau armada; adalah ungkapan jika terjadi kebinasaan. Disebut tahun ramadah sebab musnahnya sebagian manusia, tumbuhan, ternak, dan harta benda pada saat itu.”
Dampaknya yang dahsyat digambarkan Ibn Sa’d dalam Ath Thabaqatul Kubra, “..Hingga manusia terlihat mengangkat tulang yang rusak dan menggali lubang tikus untuk mengeluarkan apa yang ada di dalamnya.” Langkanya bahan pangan membuat harga melambung, sampai Imam Ath Thabary dalam Tarikh-nya menyebut, pada masa itu harga satu bejana susu dan sekantong keju mencapai 40 dirham.
Demikianpun, dinar dan dirham seakan benar-benar tiada guna karena jikapun ada uang berapa saja banyaknya, barang yang hendak dibeli sama sekali tiada. Kita tak lupa, paceklik ramadah terjadi tak berselang lama dari masa ketika perbendaharaan Kisra yang bertimbun-timbun diangkut ke Madinah pada tahun 14 Hijriah, juga hanya sebentar sebakda Syam dan Mesir yang makmur bergabung ke pangkuan Daulah.
Ayahanda Presiden,
Seakan-akan Allah hendak menunjukkan, bahwa ujianNya adalah kepastian berupa secicip ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan untuk memberi kabar gembira pada orang-orang yang sabar. Seakan-akan Allah hendak memperlihatkan, bahwa hari-hari di antara manusia memang dipergilirkan, lapang dan sempitnya, jaya dan prihatinnya. Seakan-akan Allah hendak menampakkan bahwa bahkan dalam Khilafah Rasyidah, masyarakat orang-orang shalih dengan pemimpin yang adil, tidak ada jaminan bebas dari krisis.
Tapi dengan cara ini pula Allah memperlihatkan kualitas seorang pemimpin, kualitas kepemimpinannya, dan kualitas mereka yang dipimpinnya. Inilah kesejatian sebuah peradaban; pada mutu jiwa manusianya, bukan kemewahan hidup dan kemegahan bebangunnya.
Masih tergambar jelas ketika ‘Umar menangis menyaksikan emas dan perak, permata dan sutra, permadani dan pernak-pernik mahal tiba dari Qadisiah dan Madain. Ketika itu ‘Abdurrahman ibn ‘Auf bertanya, “Mengapa engkau menangis wahai Amiral Mukminin? Padahal Allah telah memenangkan agamaNya dan memberikan kebaikan pada kaum mukminin lewat kepemimpinanmu?”
“Tidak demi Allah”, sahut ‘Umar. “Ini pastilah bukan kebaikan yang murni dan sejati. Seandainya ia adalah puncak kebaikan, niscaya Abu Bakr lebih berhak ini terjadi pada masanya daripada aku. Dan niscaya pula, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih berhak ini terjadi pada masa beliau daripada kami.” Lalu ‘Umar terus menangis mengkhawatirkan adanya fitnah yang akan timbul pada ummat Muhammad gegara harta itu. Setelah agak reda dari sesenggukannya, dia berkata, “Betapa amanahnya pasukan ini, dan betapa amanah pula panglimanya, Sa’d ibn Abi Waqqash.”
“Ini semua karena engkau”, sambut ‘Ali ibn Abi Thalib, “Tak menyimpan di dalam hatimu sebersitpun hasrat pada kekayaan dunia itu. Seandainya saja di dalam dadamu ada setitik saja syahwat terhadap perbendaharaan harta itu, niscaya pasukanmu akan saling bunuh demi memperebutkannya.”
Empat tahun kemudian kala menyaksikan Ramadah, ‘Umar kembali menangis. “Akankah ummat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam binasa di bawah kepemimpinanku?”, gerunnya berulang-kali. Saat itu, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf pula menguatkannya. “Tidak wahai Amirul Mukminin. Betapa telah berbedanya keadaan disebabkan keberkahan kepemimpinanmu?”
“Apa maksudmu wahai ‘Abdurrahman?”, sahut ‘Umar.
“Tidakkan kau perhatikan musibah dan orang-orang ini? Seandainya bencana ini terjadi di masa jahiliah, niscaya kaum Arab kesemuanya pasti sudah saling bunuh untuk memperebutkan sebulir gandum atau setetes air. Tapi lihatlah mereka ini; mereka semua bersabar dan teguh, mereka menangis tapi ridha kepada takdir Allah, mereka saling berbagi dengan mengutamakan saudaranya, serta bahu-membahu menghadapi semuanya dengan ketabahan yang takkan terbayangkan di masa dahulu.”
Pada zaman itu; bersebab kualitas manusianya, dalam krisispun jiwa mereka tampak berkilau, bersinar dari celah-celah berkah. Dalam makmur ataupun paceklik, suka dan duka, lapang serta sempit; mereka menunjukkan kualitas mental tertinggi yang akan menjadi modal peradaban Islam hingga abad-abad berikutnya. Ayahanda Presiden yang terhormat; andai diizinkan lancang memberi usul, betapa indah kalau program Revolusi Mental merujuk ke zaman ini.
***
Sementara itu Ayahanda,
Dalam makalahnya untuk Conference on Monetary Policy and Financial Stability in Emerging Markets di Istanbul, 13-15 Juni 2014, Guru Besar Ekonomi Harvard-Kennedy School, Jeffrey Frankel merujuk kisah Nabi Yusuf 'Alaihis Salaam tentang tafsirnya atas mimpi sang raja; tujuh sapi kurus yang memakan tujuh lembu gemuk dan tujuh runggai gandum yang segar penuh bulir serta tujuh tangkai yang kering lagi kopong.
"Supaya kalian bertanam 7 tahun sebagaimana biasa. Maka apa yang kalian tuai hendaklah kalian biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kalian makan. Kemudian sesudah itu akan datang 7 tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kalian simpan untuk menghadapi tahun-tahun paceklik, kecuali sedikit dari bibit gandum yang kalian simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan dengan cukup dan di masa itu mereka memeras anggur." (QS Yusuf [12]: 47-49)
Frankel menggambarkan, seakan daur itu suatu pola yang dapat kita gunakan untuk membaca datang dan perginya paceklik di zaman kita. Dia menyebutnya, The Joseph Cycle.
Selama tujuh tahun antara 1975 hingga 1981, Oil Booming melimpahkan lonjakan pendapatan pada negara-negara penghasil minyak. Minyak mendapat gelar baru; emas hitam, dan istilah 'petro dollar' menggambarkan kekayaan negeri-negeri yang berlipat karenanya. Seakan menepati Daur Yusuf, setelah itu terjadi krisis utang global yang bermula di Meksiko pada tahun 1982. Hingga 1989, tahun-tahun ini disebut sebagai The Lost Decade di Amerika Latin.
Di rentang tahun 1990-1996, pola yang mirip terjadi lagi di kala muncul gejala emerging markets booming. Negara-negara berkembang mengalami pertumbuhan ekonomi yang dahsyat selama 7 tahun. Julukan Asian Tigers bagi mereka, di mana Indonesia dimasukkan sebagai salah satunya, mewarnai satu zaman yang gempita oleh apa yang disebut sebagai Asian Economic Miracles. Namun segera setelah itu terjadi krisis ekonomi Asia pada tahun 1997, yang seakan melibas dan membawa pada financial droughts hingga 7 tahun berikutnya.
Menurut Frankel dalam presentasinya yang bertajuk “What will happen to EMs when the Fed tightens?” itu, pola yang sama akan kembali terulang dalam rentang 2004-2018 ketika terjadi financial markets booming yang ditandai dengan maraknya produk derivatif lengkap dengan segala rekayasa keuangannya. Istilah “Carry Trade” dan perkembangan negara-negara yang disebut BRICs akan menjadi pemantiknya. Awalnya, selama tujuh tahun pasar keuangan berkembang dengan fantastis. Lagi-lagi seakan menyesuaii Siklus Yusuf, setelah itu kita juga mengalami krisis keuangan global.
***
Ayahanda Presiden,
Baik sesuai Siklus Yusuf atau tidak, dalam lintasan sejarah tampak nyata bahwa kelimpahan dan kesempitan memang datang dan pergi berganti-ganti nyaris secara niscaya. Tak ada negara yang terjamin bebas dari disambangi paceklik. Pun bahkan, sekali lagi untuk menegaskan, jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa; maka pintu keberkahan yang dibukakan dari langit dan bumi tak selalu berbentuk kesejahteraan tanpa jeda, melainkan juga berupa sisipan kesempitan yang membuat manusia kembali bermesra padaNya.
Menghadapi paceklik itu, dalam ketidakpastian tentang seberapa kuat ia akan menghantam, ada di antara kita yang mengkhawatirkan sang krisis. Keterbatasan pemahaman tentangnya dan berbagai gejala yang telah terasa, suka tak suka menimbulkan berbagai kegelisahan dan bahkan pesimisme. Inilah yang dialami sebagian besar masyarakat kini, terlebih mereka yang pernah mengalami tahun-tahun pahit 1997 dan menyisakan trauma dalam hati.
Barangkali mereka yang menginsyafi keniscayaan datangnya krisis itu akan lebih mengkhawatirkan kesiapan kita menghadapinya. Para jamhur ekonomi makro, para cendikia pengamat pergerakan mata uang maupun pasar saham, para winasis yang menyeksamai neraca perdagangan, cadangan devisa, maupun berbagai rasio indikator mungkin akan lebih jernih melihat hal ini.
Dan di luar sang paceklik serta kesiapan menghadapinya, bersebab keterbatasan ilmu penyusunnya, tulisan ini hanya hendak mengajak berbincang tentang sikap menghadapi krisis itu. Sebab sungguh diyakini, nestapa paling malang yang berhasil disikapi pasti menghasilkan sesuatu yang lebih baik dibanding keberhasilan paling gemilang yang gagal disikapi. Bahkan, berhasil menyikapi kegagalan, berlipat baiknya daripada gagal menyikapi keberhasilan.
Sejarah pernah menaburkan teladan-teladan sikap utama dari para mulia di zaman paceklik menyapa mereka. Semoga dengan menyimaknya, kita tertuntun pula menyusuri celah-celah berkah hingga Allah karuniakan kebaikan di masa depan, dunia dan akhirat.
Sebagaimana ditelaah oleh Dr. Jaribah ibn Ahmad Al Haritsi dalam disertasinya di Universitas Ummul Qura Makkah yang meraih predikat summa cum laude, Al Fiqhul Iqtishadi Li Amiril Mukminin ‘Umar ibn Al Khaththab; ada hal-hal menarik dari Sayyidina ‘Umar selaku pemimpin negeri dalam masa Ramadah yang patut dicatat.
Pertama, dia sebagai kepala negara memikul penuh tanggungjawab atas hal tersebut. Bahkan meskipun diyakinkan berulangkali oleh para sahabat bahwa semua yang terjadi merupakan takdir Allah, ‘Umar selalu merasa bahwa pangkal persoalannya adalah kepemimpinan dirinya yang dalam pandangannya amat jauh dari kualitas pribadi yang dimiliki kedua pendahulunya, yakni Rasulullah dan Abu Bakr. Maka ‘Umar selalu takut kepada Allah kalau-kalau ummat ini binasa dalam pemerintahannya. Dengan bercucuran airmata, berulang-kali dia berdoa, “Ya Allah, jangan kau jadikan ummat Muhammad binasa dalam kepemimpinanku.”
Barangkali ada berlapis-lapis alasan bagi ‘Umar dalam paceklik itu, semuanya berupa keadaan yang di luar kendalinya; hujan yang tak turun, anomali musim, panen yang gagal, para pengungsi yang membanjiri Madinah, wabah penyakit yang datang dari arah Syam. Tapi dia memilih untuk bermuhasabah, barangkali dosa dan kelemahannyalah yang jadi persoalan. Alih-alih menyalahkan berbagai hal ataupun pihak, dia menjadi lebih banyak diam, bermuhasabah, dan beristighfar.
Kedua, ‘Umar mengambil sikap untuk bersama rakyatnya dalam keprihatinan. ‘Umar adalah penyuka susu dan keju. Tapi sepanjang 2 tahun Ramadah, dia haramkan untuk dirinya makanan selain roti tepung kasar, garam, dan minyak. Para sahabat menyaksikan bagaimana kulit ‘Umar yang semula putih kemerah-merahan, berubah menjadi kuning kehitam-hitaman bersebab hidup prihatin yang dia paksakan untuk dirinya.
Barangkali hidup sederhana takkan menyelesaikan krisis dan tidak pula memberi solusi kepada paceklik parah itu. Penghematan yang terjadi juga tak signifikan sama sekali. Tapi ketika itulah rakyat akan melihat bahwa sang pemimpin ada bersama mereka, merasakan hal yang sama seperti yang mereka alami. Dengan itu, bertambah tentramlah hati mereka yang dipimpinnya. Ketika rakyat hatinya tenang, bahkan pemimpin yang tak solutif sekalipun akan melihat bahwa rakyatnya punya kemampuan dahsyat untuk mencari solusinya sendiri.
Ketiga, ‘Umar menjadikan masa Ramadah sebagai wahana untuk membangun solidaritas menyeluruh kepada berbagai bangsa yang dipimpinnya. Betapa dia meneladankan langsung mengangkuti tepung, minyak, dan lauk kering untuk para pengungsi dan penduduk Madinah. Dia pula menghimbau dan menyemangati rakyatnya untuk berbagi dan menanggung beban sesama. Dia tepuk-tepuk pundak seorang ‘relawan’ muda bernama Al Ahnaf ibn Qais, yang dengan terus berlari-lari sepanjang hari memenuhi hajat orang-orang, lalu ketika habis tenaganya, dia mengelemprak sembari menangis dan berdoa, “Ya Allah, jangan murka padaku jika masih ada hambaMu yang kelaparan.”
Kita sebagai bangsa juga punya modal sosial yang amat kuat untuk membangun solidaritas itu. Bahkan mungkin kita adalah salah satu negara dengan lembaga kemanusiaan yang amat banyak jumlahnya, bekerja menyalurkan zakat, infak, shadaqah, wakaf, hibah, hadiah, dan bahkan dana CSR dalam berbagai kegiatan sosial. Dukungan dan kebersamaan pemerintah akan kian meneguhkan kita pula sebagai bangsa yang tangguh.
Keempat, ‘Umar terus memikirkan dan merumuskan sistem jaminan sosial yang bisa membuat rakyatnya bertahan di tengah paceklik. Segala sumber daya yang ada di Baitul Maal, diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Dikisahkan bagaimana dia mengumpulkan 60 orang, lalu memasak sejumlah tepung menjadi roti dan daging kering sebagai lauknya lalu mempersilakan mereka makan. Ketika ditanyakan apakah mereka merasa kenyang dengan itu, semua menyatakan ya. Maka ‘Umar memutuskan, sejumlah bahan-bahan yang tadi dimasaklah yang akan diberikan sebagai tunjangan sosial bulanan bagi tiap jiwa yang musnah sumber penghidupannya selama Ramadah.
Kelima, ‘Umar menjadikan sektor pangan sebagai perhatian utama selama krisis dan setelahnya. Dari kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salaam pun didapati bahwa, dalam masa kelangkaan di mana bahkan emas dan perak jadi tak berguna, Mesir selamat karena menata dengan baik konsumsi dan persediaan logistiknya. ‘Umar pun meminta Abu Musa Al Asy’ari untuk mengajarkan kebiasaan kaumnya yang dipuji Rasulullah, yakni; semua keluarga dalam tiap unit masyarakat mengumpulkan bahan pangan yang dimiliki menjadi satu dalam lumbung, kemudian pembagian kembali untuk konsumsi diatur dengan tata laksana gotong-royong yang adil dan penuh kebersamaan.
Inilah kebijaksanaannya; jika lumbung terpusat ala Yusuf tidak relevan untuk negaranya yang membentang dari Gurun Sahara hingga Sungai Indus; maka ketahanan pangan dibangun dalam unit-unit kecil masyarakat. Teknologi budidaya, pemanenan, pengolahan, dan penyimpanan panen di masa berikut kiranya amat membantu lahiriah dari jiwa-jiwa yang berbagi suka dan duka.
‘Umar pula mengunjungi beberapa daerah pantai dan menemui para nelayan. Dengan pujiannya ketika membersamai mereka melaut, “Betapa baiknya cara kalian menjemput rizqi Allah”, dia meminta pelipatgandaan penyediaan ikan dan membiasakan rakyatnya memakan hasil laut. ‘Umar juga melarang segala jenis ternak dan hewan peliharaan diberi makan dengan apa yang dapat dikonsumsi manusia. Dia sangat marah ketika pada sebuah peternakan unta ditemukan kotoran yang mengandung jejak tepung sya’ir.
Keenam, ‘Umar menggesa pembangunan infrastruktur dan jaminan keamanan yang mendukung kelancaran suplai logistik. Pada jalur antara Syam ke Madinah, Kufah ke Madinah, dan bersambung hingga Yaman; didirikan pos-pos penjagaan dan tempat-tempat istirahat kafilah yang memadai. Di tahun berikutnya, setelah melihat lama dan mahalnya angkutan darat dari Mesir ke ibukota, ‘Umar memerintahkan Gubernur ‘Amr ibn Al ‘Ash untuk menggali kanal yang menghubungkan Sungai Nil dengan Laut Merah, sehingga hasil pertanian Mesir yang berlimpah dapat diangkut dengan cepat ke Madinah untuk menekan harganya. Terusan itu tetap berfungsi hingga akhir masa pemerintahan Sayyidina ‘Utsman ibn ‘Affan.
Ketujuh; ‘Umar memberlakukan beberapa kebijakan yang meringankan beban tanggungan masyarakat. Selama masa Ramadah, zakat hewan ternak ditunda penarikannya, pemeroleh jaminan sosial diperluas dari semula bayi tersapih menjadi sejak bayi lahir, bahkan beberapa hukuman ditangguhkan penerapannya termasuk pencurian yang benar-benar bersebab kebutuhan dan tak mencapai nilai seperempat dinar. Sebaliknya, ketika menemukan lahan subur milik para pemuka kaum tak digarap dalam tinjauannya ke Iraq, dia tegas mengultimatum bahwa jika dalam waktu tertentu sang tuan tanah tak menjadikannya produktif, negara berhak menyita dan mengamanahkannya pada yang mampu menanaminya.
Kedelapan, boleh jadi inilah yang terpenting; keberserahan diri ‘Umar kepada Allah dan upayanya dalam memohon pertolongan Allah. Suatu hari di puncak paceklik, digandengnya erat Sayyidina ‘Abbas ibn ‘Abdil Muthalib setelah bersama-sama menunaikan shalat istisqa’. Dengan berlinang dia berkata, “Ya Allah, dulu kami memohon hujan dengan perantaraan NabiMu. Kini kami mohon turunkanlah lagi hujan itu dengan perantaraan doa Paman NabiMu ini.” Tak lama kemudian angin mengarak awan hitam di langit Madinah, dan hujanpun turun dengan deras. Inilah sang pemimpin, dia merunduk pada Allah dan menggandeng erat orang-orang shalih.
Ayahanda Presiden yang terhormat,
Kami akhiri hatur-tutur ini dengan tiga kata yang menggambarkan sifat pemimpin menurut Pujangga Keraton Surakarta, Raden Ngabehi Rangga Warsita, yakni momor, momot, dan momong. Momor berarti hadir, dekat, bersama, menyatu, dan seperasaan dengan yang dipimpin. Momot artinya mampu memuat segala beban, keluhan, dan harapan yang dipimpin. Adapun momong artinya, menjaga, mencukupi, mengasuh, mengasihi, dan mengasah yang dipimpin. Doa kami selalu, semoga Panjenengan nDalem mampu mengemban amanah lebih dari 250 juta manusia yang amat berpotensi menjadi pendakwa, bukan pembela di akhirat sana.
Hamba Allah yang tertawan dosanya,
@salimafillah
FB: Salim A. Fillah
www.salimafillah.com
0 comments:
Post a Comment