Raja Keraton sekaligus Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, dilaporkan warga bernama Willie Sebastian ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tidak hanya sultan, turut juga Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto serta Badan Pertanahan Nasional (BPN) Yogyakarta. Willie melaporkan semuanya atas dugaan separatisme.
Permasalahan ini muncul berkenaan dengan penguasaan lahan serta larangan warga etnis nonpribumi memiliki hak tanah, sebagaimana diatur dalam Instruksi Wakil Gubernur yang ditandatangani Paku Alam VIII pada 5 Maret 1975.
Dalam surat tersebut, Sultan dituding telah menyelewengkan Undang-undang No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama di bidang pertanahan dan indikasi separatis dengan menghidupkan aturan hukum Kolonial (Rijksblad) dan mengesampingkan UUPA No 5 tahun 1960.
"Tujuannya itu ingin menguasai tanah milik negara," kata Willie yang juga ketua Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad), Selasa (15/9) malam.
Willie mencantumkan setidaknya ada empat poin dugaan separatisme yang dilakukan Sultan. Pertama, pengambilalihan hak menguasai negara terhadap tanah negara dengan cara sertifikasi tanah-tanah negara menjadi tanah keraton.
Kedua, pengambilalihan hak milik masyarakat atas tanah desa sebagai aset publik dengan cara penerbitan Peraturan Gubernur DIY No 112 Tahun 2014 tentang Pemanfaatan Tanah Desa.
Aturan ini dinilai bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria Diktum IV, UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 76 dan UUK DIY Pasal 16.
"Desa jadi kehilangan milik tanah desa," terangnya.
Ketiga, penerbitan Raperdais bidang pertanahan yang isinya upaya menghidupkan kembali Rijksblad sebagai dasar Sultan Grond. Padahal Sultan Ground sudah dihapus dengan Perda DIY No 3 Tahun 1984.
"Ini jelas bertentangan dengan UUPA, kita itu sering ditipu karena tidak tahu. UUPA itu sudah berlakukan di Yogyakarta, tapi pemerintah tidak mau menggunakannya," tegasnya.
Keempat perlakuan diskriminatif terhadap warga negara Indonesia nonpribumi, berupa larangan memiliki hak milik tanah di Yogyakarta.
"Saya mau tanya, apa ada WNI nonpribumi? WNI yang WNI. Ini diskriminasi, padahal kita sudah punya UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis," ujarnya.
Menurut Willie selama ini WNI nonpribumi di Yogyakarta hanya boleh memiliki hak guna bangunan. Jika ada yang mencoba mengurus sertifikat tanah, maka BPN langsung memberikan surat jika tidak boleh memiliki hak tanah.
"Tanahnya kemudian diambil alih oleh negara. Kalau itu namanya perampasan," bebernya.
Tidak selesai di situ, setelah tanah dirampas, mereka kemudian diminta membayar sewa jika ingin mendirikan bangunan di atasnya.
"Tanah milik kita, diambil alih negara, terus kita mau pakai tanah itu harus menyewa lagi, coba bayangkan," ungkapnya.
Willie pun sempat menanyakan alasan dan dasar perlakuan diskriminatif itu. Namun, menurut penuturannya, selama ini BPN atau pun pemerintah tidak memberikan jawaban.
"Mereka itu tidak bisa menjawab. Apa bedanya WNI pribumi dan non pribumi? Apa ada istilah pribumi dan non pribumi? Indonesia itu negara hukum, dan semua orang diperlakukan sama di mata hukum, memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kenapa terus ada perbedaan?" terangnya.
Menyikapi tudingan ini, Sultan menyampaikan bahwa yang dimaksud tidak adanya tanah negara di Yogyakarta, semuanya berawal dari perjanjian Giyanti terkait pembagian kekuasaan antara Kerajaan Ngayogyakarta dengan Surakarta.
"Yang melaporkan enggak tahu sejarahnya," kata Sultan kepada wartawan.
Terpisah, tim hukum Keraton Yogyakarta, KRT Niti Negoro membenarkan adanya aturan warga nonpribumi dilarang memiliki hak kepemilikan tanah di Yogyakarta. Menurutnya, larangan tersebut diatur melalui surat instruksi Wakil Gubernur yang ditandatangani Paku Alam VIII pada 5 Maret 1975.
Dalam surat tersebut dituliskan bahwa hingga saat itu, warga negara Indonesia nonpribumi belum boleh memiliki tanah.
"Memang tidak boleh, karena ada aturannya. Sudah pernah ada yang menggugat, tapi tidak ada masalah, itu tetap berlaku," katanya.
Niti Negoro menjelaskan alasan dikeluarkan peraturan tersebut karena pertimbangan untuk pemerataan hak. Pada waktu itu jika tidak diatur demikian, maka tanah-tanah di Yogyakarta akan dikuasai oleh warga keturunan yang pada waktu itu dominan dalam aspek ekonomi.
"Alasannya dari sejarah, dalam rangka pemerataan hak, supaya tanah tidak dikuasai kelompok yang kuat ekonomi. Agar tanah strategis tidak dikuasai ekonomi kuat. Maka kemudian dikeluarkan aturan itu," terangnya.
Dia pun menegaskan peraturan tersebut hingga kini tetap berlaku meski sudah ada pemberlakuan UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) pada tahun 1984 di Yogyakarta. Sebab, Yogyakarta adalah daerah istimewa sehingga tidak semua peraturan berlaku di Yogyakarta.
"Yogyakarta ini daerah istimewa, tidak semua berlaku penuh. Sepanjang ada di Yogyakarta, harus tunduk peraturan di Yogyakarta," tegasnya.
Hal ini dikuatkan dengan penjelasan Kepala Kantor Wilayah BPN Yogyakarta, Arie Yuwirin. Dia menegaskan memang warga nonpribumi tidak boleh memiliki SHM (surat hak milik) tanah.
"Sebetulnya tidak seperti itu, jadi kaitannya dengan Granad itu karena keinginan untuk mendapatkan hak milik untuk nonpribumi," terang Arie.
Dia menegaskan, bukan hanya warga Tionghoa saja yang tidak boleh memiliki tanah di Yogyakarta, tetapi semua warga keturunan juga tidak boleh.
"Warga keturunan bukan Tionghoa saja, India dan asing lainnya tidak bisa diberikan hak milik karena sudah ada putusan yurisprudensi," ungkapnya. (merdeka)
Permasalahan ini muncul berkenaan dengan penguasaan lahan serta larangan warga etnis nonpribumi memiliki hak tanah, sebagaimana diatur dalam Instruksi Wakil Gubernur yang ditandatangani Paku Alam VIII pada 5 Maret 1975.
Dalam surat tersebut, Sultan dituding telah menyelewengkan Undang-undang No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama di bidang pertanahan dan indikasi separatis dengan menghidupkan aturan hukum Kolonial (Rijksblad) dan mengesampingkan UUPA No 5 tahun 1960.
"Tujuannya itu ingin menguasai tanah milik negara," kata Willie yang juga ketua Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad), Selasa (15/9) malam.
Willie mencantumkan setidaknya ada empat poin dugaan separatisme yang dilakukan Sultan. Pertama, pengambilalihan hak menguasai negara terhadap tanah negara dengan cara sertifikasi tanah-tanah negara menjadi tanah keraton.
Kedua, pengambilalihan hak milik masyarakat atas tanah desa sebagai aset publik dengan cara penerbitan Peraturan Gubernur DIY No 112 Tahun 2014 tentang Pemanfaatan Tanah Desa.
Aturan ini dinilai bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria Diktum IV, UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 76 dan UUK DIY Pasal 16.
"Desa jadi kehilangan milik tanah desa," terangnya.
Ketiga, penerbitan Raperdais bidang pertanahan yang isinya upaya menghidupkan kembali Rijksblad sebagai dasar Sultan Grond. Padahal Sultan Ground sudah dihapus dengan Perda DIY No 3 Tahun 1984.
"Ini jelas bertentangan dengan UUPA, kita itu sering ditipu karena tidak tahu. UUPA itu sudah berlakukan di Yogyakarta, tapi pemerintah tidak mau menggunakannya," tegasnya.
Keempat perlakuan diskriminatif terhadap warga negara Indonesia nonpribumi, berupa larangan memiliki hak milik tanah di Yogyakarta.
"Saya mau tanya, apa ada WNI nonpribumi? WNI yang WNI. Ini diskriminasi, padahal kita sudah punya UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis," ujarnya.
Menurut Willie selama ini WNI nonpribumi di Yogyakarta hanya boleh memiliki hak guna bangunan. Jika ada yang mencoba mengurus sertifikat tanah, maka BPN langsung memberikan surat jika tidak boleh memiliki hak tanah.
"Tanahnya kemudian diambil alih oleh negara. Kalau itu namanya perampasan," bebernya.
Tidak selesai di situ, setelah tanah dirampas, mereka kemudian diminta membayar sewa jika ingin mendirikan bangunan di atasnya.
"Tanah milik kita, diambil alih negara, terus kita mau pakai tanah itu harus menyewa lagi, coba bayangkan," ungkapnya.
Willie pun sempat menanyakan alasan dan dasar perlakuan diskriminatif itu. Namun, menurut penuturannya, selama ini BPN atau pun pemerintah tidak memberikan jawaban.
"Mereka itu tidak bisa menjawab. Apa bedanya WNI pribumi dan non pribumi? Apa ada istilah pribumi dan non pribumi? Indonesia itu negara hukum, dan semua orang diperlakukan sama di mata hukum, memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kenapa terus ada perbedaan?" terangnya.
Menyikapi tudingan ini, Sultan menyampaikan bahwa yang dimaksud tidak adanya tanah negara di Yogyakarta, semuanya berawal dari perjanjian Giyanti terkait pembagian kekuasaan antara Kerajaan Ngayogyakarta dengan Surakarta.
"Yang melaporkan enggak tahu sejarahnya," kata Sultan kepada wartawan.
Terpisah, tim hukum Keraton Yogyakarta, KRT Niti Negoro membenarkan adanya aturan warga nonpribumi dilarang memiliki hak kepemilikan tanah di Yogyakarta. Menurutnya, larangan tersebut diatur melalui surat instruksi Wakil Gubernur yang ditandatangani Paku Alam VIII pada 5 Maret 1975.
Dalam surat tersebut dituliskan bahwa hingga saat itu, warga negara Indonesia nonpribumi belum boleh memiliki tanah.
"Memang tidak boleh, karena ada aturannya. Sudah pernah ada yang menggugat, tapi tidak ada masalah, itu tetap berlaku," katanya.
Niti Negoro menjelaskan alasan dikeluarkan peraturan tersebut karena pertimbangan untuk pemerataan hak. Pada waktu itu jika tidak diatur demikian, maka tanah-tanah di Yogyakarta akan dikuasai oleh warga keturunan yang pada waktu itu dominan dalam aspek ekonomi.
"Alasannya dari sejarah, dalam rangka pemerataan hak, supaya tanah tidak dikuasai kelompok yang kuat ekonomi. Agar tanah strategis tidak dikuasai ekonomi kuat. Maka kemudian dikeluarkan aturan itu," terangnya.
Dia pun menegaskan peraturan tersebut hingga kini tetap berlaku meski sudah ada pemberlakuan UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) pada tahun 1984 di Yogyakarta. Sebab, Yogyakarta adalah daerah istimewa sehingga tidak semua peraturan berlaku di Yogyakarta.
"Yogyakarta ini daerah istimewa, tidak semua berlaku penuh. Sepanjang ada di Yogyakarta, harus tunduk peraturan di Yogyakarta," tegasnya.
Hal ini dikuatkan dengan penjelasan Kepala Kantor Wilayah BPN Yogyakarta, Arie Yuwirin. Dia menegaskan memang warga nonpribumi tidak boleh memiliki SHM (surat hak milik) tanah.
"Sebetulnya tidak seperti itu, jadi kaitannya dengan Granad itu karena keinginan untuk mendapatkan hak milik untuk nonpribumi," terang Arie.
Dia menegaskan, bukan hanya warga Tionghoa saja yang tidak boleh memiliki tanah di Yogyakarta, tetapi semua warga keturunan juga tidak boleh.
"Warga keturunan bukan Tionghoa saja, India dan asing lainnya tidak bisa diberikan hak milik karena sudah ada putusan yurisprudensi," ungkapnya. (merdeka)
0 comments:
Post a Comment