Belum genap setahun menjalankan roda pemerintahan, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla harus dihadapkan pada gelombang ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal oleh pengusaha. Ini sebagai dampak terus melambatnya gerak roda perekonomian nasional dan semakin ambruknya nilai tukar Rupiah.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini lantas membandingkan kondisi saat ini dengan era pemerintahan SBY-Boediono yang sama-sama mengalami perlambatan ekonomi. Perbedaannya terlihat dari pengangguran.
“Ketika zamannya SBY, meski pertumbuhan di bawah 5 persen tapi pengangguran tidak meningkat. Tetapi sekarang mengalami peningkatan di pemerintah Jokowi,” ujarnya di Kantor Indef, Jakarta, Rabu (2/9).
Didik menjelaskan, dalam kurun waktu lima tahun pemerintahan SBY, tingkat pengangguran justru mengalami penurunan dari 7,4 persen menjadi 5,7 persen. Namun, era Presiden Jokowi, pengangguran justru naik dari 5,7 persen menjadi hampir 6 persen.
“Ini berarti per kuartal ada 300.000 orang yang menganggur. Ini baru pengangguran yang terbuka, belum yang tertutup. Jadi pertahanan pertama dari ekonomi kita sudah jebol, yaitu pengangguran,” jelas dia.
Direktur Eksekutif Institute for Development for Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menambahkan pemerintah harus memiliki data yang pasti soal PHK. Ini penting sebagai dasar memitigasi gelombang PHK yang lebih besar.
“Kalau Menaker (Pak Hanif) bilang bahwa ada 60.000 orang, serikat buruh bilang 100.000. Ini perlu diklarifikasi, karena terkait emergency rescue yang harus dilakukan pemerintah,” ungkapnya.
Angka 60.000 orang baru sebatas yang dilaporkan perusahaan. Angka ini bisa lebih besar jika dihitung dari sektor usaha non-formal yang tidak dilaporkan ke pemerintah.
“Kalau yang lapor saja 60.000 bagaimana perusahaan yang tidak melapor. Yang lapor itu adalah industri yang formal, yang dokumen-dokumen hukumnya lengkap. Mereka tidak bisa melakukan penghindaran. Kalau misalnya salam satu perusahaan yang di-PHK 1-5 orang, dikali sekian ribu sudah berapa ribu yang PHK,” tutup dia. (CJ)
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini lantas membandingkan kondisi saat ini dengan era pemerintahan SBY-Boediono yang sama-sama mengalami perlambatan ekonomi. Perbedaannya terlihat dari pengangguran.
“Ketika zamannya SBY, meski pertumbuhan di bawah 5 persen tapi pengangguran tidak meningkat. Tetapi sekarang mengalami peningkatan di pemerintah Jokowi,” ujarnya di Kantor Indef, Jakarta, Rabu (2/9).
Didik menjelaskan, dalam kurun waktu lima tahun pemerintahan SBY, tingkat pengangguran justru mengalami penurunan dari 7,4 persen menjadi 5,7 persen. Namun, era Presiden Jokowi, pengangguran justru naik dari 5,7 persen menjadi hampir 6 persen.
“Ini berarti per kuartal ada 300.000 orang yang menganggur. Ini baru pengangguran yang terbuka, belum yang tertutup. Jadi pertahanan pertama dari ekonomi kita sudah jebol, yaitu pengangguran,” jelas dia.
Direktur Eksekutif Institute for Development for Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menambahkan pemerintah harus memiliki data yang pasti soal PHK. Ini penting sebagai dasar memitigasi gelombang PHK yang lebih besar.
“Kalau Menaker (Pak Hanif) bilang bahwa ada 60.000 orang, serikat buruh bilang 100.000. Ini perlu diklarifikasi, karena terkait emergency rescue yang harus dilakukan pemerintah,” ungkapnya.
Angka 60.000 orang baru sebatas yang dilaporkan perusahaan. Angka ini bisa lebih besar jika dihitung dari sektor usaha non-formal yang tidak dilaporkan ke pemerintah.
“Kalau yang lapor saja 60.000 bagaimana perusahaan yang tidak melapor. Yang lapor itu adalah industri yang formal, yang dokumen-dokumen hukumnya lengkap. Mereka tidak bisa melakukan penghindaran. Kalau misalnya salam satu perusahaan yang di-PHK 1-5 orang, dikali sekian ribu sudah berapa ribu yang PHK,” tutup dia. (CJ)
0 comments:
Post a Comment