Dalam kehidupan sosial politik seorang pemimpin dicintai atau dibenci oleh rakyatnya adalah suatu yang lumrah. Seorang pemimpin tidak bisa memaksa setiap individu agar mencintainya, demikian pula ia tidak bisa mencegah rakyat agar tidak membencinya.
Demikian dikatakan Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya kepada intelijen (06/08) menanggapi usulan Pemerintahan Joko Widodo untuk menghidupkan kembali “pasal penghinaan presiden”.
Kata Harits, rencana pemerintah mengajukan RUU KUHP dengan memasukkan pasal penghinaan Presiden yang bersifat delik aduan, yang sebelumnya masuk delik umum, adalah langkah tidak bijak.
“Kenapa seolah menjadi hal penting untuk menjaga wibawa dan wajah kekuasaan dibanding harus fokus bekerja yang bisa melahirkan kecintaan rakyat kepada pemimpinnya,” ungkap Harits.
Harits mengatakan, jika tidak ingin dibenci dicaci bahkan dihina maka jadilah pemimpin yang adil, jangan khianat, jangan menipu rakyat bahkan mendzalimi rakyat. “Maka masuknya pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP yang usung pemerintah sangat berpotensi terjadinya “abuse of power” (penyalahgunaan kekuasaan),” papar Harits.
Menurut Harits, pengalaman masa Orde Baru yang diktator sudah cukup bagi rakyat Indonesia dan tidak perlu terulang kembali.
Red/intelijen
Demikian dikatakan Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya kepada intelijen (06/08) menanggapi usulan Pemerintahan Joko Widodo untuk menghidupkan kembali “pasal penghinaan presiden”.
Kata Harits, rencana pemerintah mengajukan RUU KUHP dengan memasukkan pasal penghinaan Presiden yang bersifat delik aduan, yang sebelumnya masuk delik umum, adalah langkah tidak bijak.
“Kenapa seolah menjadi hal penting untuk menjaga wibawa dan wajah kekuasaan dibanding harus fokus bekerja yang bisa melahirkan kecintaan rakyat kepada pemimpinnya,” ungkap Harits.
Harits mengatakan, jika tidak ingin dibenci dicaci bahkan dihina maka jadilah pemimpin yang adil, jangan khianat, jangan menipu rakyat bahkan mendzalimi rakyat. “Maka masuknya pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP yang usung pemerintah sangat berpotensi terjadinya “abuse of power” (penyalahgunaan kekuasaan),” papar Harits.
Menurut Harits, pengalaman masa Orde Baru yang diktator sudah cukup bagi rakyat Indonesia dan tidak perlu terulang kembali.
Red/intelijen
0 comments:
Post a Comment