Putra bungsu mantan Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, lewat akun Twitter-nya beberapa kali menyinggung soal Dana Revolusi. Pada Kamis malam (13/8), misalnya, Tommy kembali menyinggung soal Dana Revolusi itu. “Manfaat fulus BLBI kira-kira yang terlihat yang mana. Jadi Ingat Dana Revolusi. Sebagian Dana Revolusi = untuk reformasi, tentu saja nanti untuk mendukung ambisi sebagai oposisi,” tulis Tommy.
Laman pribuminews (13/8) menulis cukup panjang mengenai misteri dana revolusi ini dan dugaan kaitannya dengan Megawati dan PDIP. Inilah salinannya:
Memang, dalam beberapa tahun terakhir kembali beredar kabar mengenai Dana Revolusi, terutama di media-media sosial. Bahkan, bukan cuma pembahasannya yang muncul, tapi juga foto-foto yang katanya berkenaan dengan Dana Revolusi. Jauh sebelum itu, majalah Gatra edisi 12 Agustus 2012 pernah menurunkan hasil wawancara dengan Soebandrio, yang pernah menjadi Wakil Perdana Menteri I pada masa pemerintahan Bung Karno, yang fokus utamanya tentang Dana Revolusi. Ketika itu, Soebandrio masah dalam penjara di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang-Jakarta dan baru mendapat grasi dari Presiden Soeharto. Itulah sebabnya ketika itu beredar isu bahwa grasi yang didapatkan Soebandrio adalah imbalan dari keberhasilannya mencairkan Dana Revolusi.
Pengumpulan Dana Revolusi itu, menurut Soebadrio, diputuskan oleh Presiden Soekarno dan Pemerintahan Kabinet Djuanda. Ketika itu keadaan keuangan negara sangat sulit dan anggaran belanja para menteri sangat terbatas. “Jika menteri kehabisan uang, dibutuhkan tambahan anggaran belanja. Ini makan waktu agak lama, sampai beberapa bulan. Maka, Menteri Keuangan dipersilakan menyediakan Dana Revolusi dalam rupiah, dalam jumlah terbatas. Keadaan keuangan negara waktu itu serba-sulit, separo anggaran belanja negara dipakai untuk perjuangan merebut Irian Barat, kini Irian Jaya. Para menteri yang sangat membutuhkan uang mengajukan permintaan kepada Menteri Keuangan yang meneliti permintaan itu. Jika Menteri Keuangan setuju, kemudian harus diajukan kepada Djuanda untuk mendapat pengesahannya. Setelah Bapak Djuanda meninggal, saya dan Chairul Saleh diberi tugas memberi keputusan terakhir tentang permintaan menteri,” tutur Soebandrio kepadaGatra.
Soebandrio dan Chairul Saleh pun kemudian memberikan persetujuan. “Misalnya untuk Menteri Perindustrian Arumnanto. Jumlahnya Rp 30 juta atas rekomendasi Menteri Keuangan,” katanya.
Dana Revolusi, ungkap Soebandrio, tidak disimpan di luar negeri atas nama dirinya. “Dana Revolusi berwujud rupiah dan hanya disimpan di bank dalam negeri, bukan di luar negeri,” ujarnya.
Namun, lanjutnya, kira-kira tahun 1980-an, ada orang Malaysia bernama Musa datang ke rumahnya, menemui istri Soebandrio, Sri Kusdyantina, dan Musa mengaku baru tahu bahwa Soebandrio masih hidup setelah melihat fotonya bersama sang istri. Musa mengaku sebagai nasabah Union Bank of Switzerland (UBS).
Kepada Sri Kusdyantina, Musa mengaku tahu persis bahwa di bank Swiss itu ada deposito atas nama Dr Soebandrio sebanyak US$ 130 juta. “Tapi, saya menganggap keterangan itu bohong dan sensasional. Pemerintahan Soekarno sama sekali tak punya dana untuk disimpan di Swiss. Saya pesan kepada istri saya untuk menjawab begitu kalau ditemui Musa. Sebab saya yakin Dana Revolusi itu tak mungkin ada,” katanya.
Soebandrio mengisahkan, Musa terus datang menemui istrinya, sementara Soebandrio masih dipenjara. “Itu berlangsung selama kira-kira satu tahun. Bahkan, dia pernah datang membawa seorang Swiss untuk membuktikan bahwa saya masih hidup dan hukuman saya telah diubah dari vonis mati menjadi hukuman seumur hidup. Musa terus membujuk. Dia berkata, kalau saya sudah mati, dana itu akan menjadi milik bank Swiss. Sayang sekali kalau tak segera diambil. Dia mendesak istri saya agar membujuk saya untuk memberikan surat keterangan bahwa deposito yang ada di Swiss memang atas nama saya. Akhirnya, saya bersedia memberi surat kuasa kepada Musa. Isinya: meminta keterangan tertulis kepada Union Bank of Switzerland, apakah benar deposito di bank tersebut memang atas nama saya. Jadi justru saya yang meminta keterangan, bukan saya yang memberi keterangan. Saya juga tak mengatakan ingin menagih,” katanya.
Namun, sampai Gatra mewawancarai itu, Soebandrio mengaku belum menerima surat jawaban dari UBS. “Jadi, saya belum tahu apakah benar di sana ada deposito atas nama saya,” katanya.
Soebandrio juga mengaku meminta Musa mencairkan dana pribadinya di bank Swiss, sebesar US$ 35 ribu. “Sengaja saya suruh Musa mengurusnya, sekalian untuk mengetes dia, apa benar dia bisa. Ternyata uang itu pun tak bisa diambil. Sekali lagi, saya tak mengutak-utik Dana Revolusi. Uang US$ 35 ribu itu uang saya pribadi,” katanya.
Pada 13 Februari 1986, Soebandrio menulis surat kepada Presiden Soeharto, memberitahukan tentang adanya Dana Revolusi itu. Dalam surat kepada Pak Harto, ia memerinci jumlah dana di Union Bank of Switzerland sebesar US$ 450 juta. Di Barcley Bank Inggris ada emas senilai £ 125 juta.
Namun, dalam wawancara dengan Gatra tersebut, Soebandrio mengaku salah terkait surat kepada Presiden Soeharto. “Itulah kesalahan saya. Saya dan keluarga saya begitu dipengaruhi orang luar, dari tak percaya sampai akhirnya percaya. Mengapa saya menyebut angkanya kepada Pak Harto? Itu karena saya bingung. Banyak orang memberikan data itu berikut menyebutkan tempat penyimpanannya. Mereka juga berkata, kalau saya tak mengaku akan berdosa, yang akibatnya bisa fatal. Saya sebetulnya bukan tak mau mengaku. Tapi, saya memang sangsi barang itu ada,” ujar Soebandrio. Dalam akhir wawancaranya, Soebandrio menegaskan kembali bahwa tidak ada Dana Revolusi atas nama dirinya.
Pada 20 Februari 2015, Tommy Soeharto juga menulis di akun Twitter-nya bahwa dana itu sudah digunakan untuk partai tertentu. “Sebagian dana itu digunakan untuk pembangunan perbaikan usai perang. Sisanya dibawa anak kesayangan dan digunakan untuk kendaraan pribadi,” tulis Tommy.
Itu artinya Dana Revolusi, menurut Tommy, sudah cair dan dibawa “anak kesayangan”, yang sebagian digunakan membiayai partai politik. Anak kesayangan siapa yang dimaksud? Apakah anak kesayangan Bung Karno, mengingat keputusan perlunya Dana Revolusi itu datang dari Bung Karno? Megawatikah yang dimaksud Tommy. Apakah partai politik yang dibiayai dari Dana Revolusi itu juga maksudnya PDIP, karena Megawati adalah Ketua Umum PDIP?
Kesan itu ke arah sana semakin kuat karena Tommy seakan memberi kode dengan frasa “keluarga yang tidak akur”. Karena, seperti diketahui, hubungan Megawati dan adiknya, Rachmawati, mengesankan ketidakakuran di antara mereka. Dalam kasus KPK-Polri saja, misalnya, Rachmawati kerap mengecam keras Megawati karena ia anggap sebagai biang keladi kekisruhan itu. Malah, pada 19 Februari 2015), Rachmawati menyebut Mega sebagai Ibu Budi Gunawan, komisaris jenderal polisi yang dicalonkan Presiden Joko untuk jadi Kapolri, namun dibatalkan meski DPR telah menyetujui.
“Budi Gunawan memiliki hubungan yang begitu erat dengan Ibu Budi. Dia mendapatkan privilese saat Ibu Budi menjadi presiden. Penunjukan BG sebagai calon Kapolri tidak terlepas dari tekanan Ibu Budi,” kata Rachmawati.
Jadi, benarkan keluarga tidak akur yang dimaksud itu adalah keluarga Bung Karno? Entahlah. Yang pasti, dalam twit selanjutnya, Tommy menulis, “Itu baru beberapa kata dari saya. Lain kali akan saya lanjutkan. Sebaiknya lain kali kalau tidak mau ditelanjangi jangan menelanjangi,” katanya.(nn/ermus)
Laman pribuminews (13/8) menulis cukup panjang mengenai misteri dana revolusi ini dan dugaan kaitannya dengan Megawati dan PDIP. Inilah salinannya:
Memang, dalam beberapa tahun terakhir kembali beredar kabar mengenai Dana Revolusi, terutama di media-media sosial. Bahkan, bukan cuma pembahasannya yang muncul, tapi juga foto-foto yang katanya berkenaan dengan Dana Revolusi. Jauh sebelum itu, majalah Gatra edisi 12 Agustus 2012 pernah menurunkan hasil wawancara dengan Soebandrio, yang pernah menjadi Wakil Perdana Menteri I pada masa pemerintahan Bung Karno, yang fokus utamanya tentang Dana Revolusi. Ketika itu, Soebandrio masah dalam penjara di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang-Jakarta dan baru mendapat grasi dari Presiden Soeharto. Itulah sebabnya ketika itu beredar isu bahwa grasi yang didapatkan Soebandrio adalah imbalan dari keberhasilannya mencairkan Dana Revolusi.
Pengumpulan Dana Revolusi itu, menurut Soebadrio, diputuskan oleh Presiden Soekarno dan Pemerintahan Kabinet Djuanda. Ketika itu keadaan keuangan negara sangat sulit dan anggaran belanja para menteri sangat terbatas. “Jika menteri kehabisan uang, dibutuhkan tambahan anggaran belanja. Ini makan waktu agak lama, sampai beberapa bulan. Maka, Menteri Keuangan dipersilakan menyediakan Dana Revolusi dalam rupiah, dalam jumlah terbatas. Keadaan keuangan negara waktu itu serba-sulit, separo anggaran belanja negara dipakai untuk perjuangan merebut Irian Barat, kini Irian Jaya. Para menteri yang sangat membutuhkan uang mengajukan permintaan kepada Menteri Keuangan yang meneliti permintaan itu. Jika Menteri Keuangan setuju, kemudian harus diajukan kepada Djuanda untuk mendapat pengesahannya. Setelah Bapak Djuanda meninggal, saya dan Chairul Saleh diberi tugas memberi keputusan terakhir tentang permintaan menteri,” tutur Soebandrio kepadaGatra.
Soebandrio dan Chairul Saleh pun kemudian memberikan persetujuan. “Misalnya untuk Menteri Perindustrian Arumnanto. Jumlahnya Rp 30 juta atas rekomendasi Menteri Keuangan,” katanya.
Dana Revolusi, ungkap Soebandrio, tidak disimpan di luar negeri atas nama dirinya. “Dana Revolusi berwujud rupiah dan hanya disimpan di bank dalam negeri, bukan di luar negeri,” ujarnya.
Namun, lanjutnya, kira-kira tahun 1980-an, ada orang Malaysia bernama Musa datang ke rumahnya, menemui istri Soebandrio, Sri Kusdyantina, dan Musa mengaku baru tahu bahwa Soebandrio masih hidup setelah melihat fotonya bersama sang istri. Musa mengaku sebagai nasabah Union Bank of Switzerland (UBS).
Kepada Sri Kusdyantina, Musa mengaku tahu persis bahwa di bank Swiss itu ada deposito atas nama Dr Soebandrio sebanyak US$ 130 juta. “Tapi, saya menganggap keterangan itu bohong dan sensasional. Pemerintahan Soekarno sama sekali tak punya dana untuk disimpan di Swiss. Saya pesan kepada istri saya untuk menjawab begitu kalau ditemui Musa. Sebab saya yakin Dana Revolusi itu tak mungkin ada,” katanya.
Soebandrio mengisahkan, Musa terus datang menemui istrinya, sementara Soebandrio masih dipenjara. “Itu berlangsung selama kira-kira satu tahun. Bahkan, dia pernah datang membawa seorang Swiss untuk membuktikan bahwa saya masih hidup dan hukuman saya telah diubah dari vonis mati menjadi hukuman seumur hidup. Musa terus membujuk. Dia berkata, kalau saya sudah mati, dana itu akan menjadi milik bank Swiss. Sayang sekali kalau tak segera diambil. Dia mendesak istri saya agar membujuk saya untuk memberikan surat keterangan bahwa deposito yang ada di Swiss memang atas nama saya. Akhirnya, saya bersedia memberi surat kuasa kepada Musa. Isinya: meminta keterangan tertulis kepada Union Bank of Switzerland, apakah benar deposito di bank tersebut memang atas nama saya. Jadi justru saya yang meminta keterangan, bukan saya yang memberi keterangan. Saya juga tak mengatakan ingin menagih,” katanya.
Namun, sampai Gatra mewawancarai itu, Soebandrio mengaku belum menerima surat jawaban dari UBS. “Jadi, saya belum tahu apakah benar di sana ada deposito atas nama saya,” katanya.
Soebandrio juga mengaku meminta Musa mencairkan dana pribadinya di bank Swiss, sebesar US$ 35 ribu. “Sengaja saya suruh Musa mengurusnya, sekalian untuk mengetes dia, apa benar dia bisa. Ternyata uang itu pun tak bisa diambil. Sekali lagi, saya tak mengutak-utik Dana Revolusi. Uang US$ 35 ribu itu uang saya pribadi,” katanya.
Pada 13 Februari 1986, Soebandrio menulis surat kepada Presiden Soeharto, memberitahukan tentang adanya Dana Revolusi itu. Dalam surat kepada Pak Harto, ia memerinci jumlah dana di Union Bank of Switzerland sebesar US$ 450 juta. Di Barcley Bank Inggris ada emas senilai £ 125 juta.
Namun, dalam wawancara dengan Gatra tersebut, Soebandrio mengaku salah terkait surat kepada Presiden Soeharto. “Itulah kesalahan saya. Saya dan keluarga saya begitu dipengaruhi orang luar, dari tak percaya sampai akhirnya percaya. Mengapa saya menyebut angkanya kepada Pak Harto? Itu karena saya bingung. Banyak orang memberikan data itu berikut menyebutkan tempat penyimpanannya. Mereka juga berkata, kalau saya tak mengaku akan berdosa, yang akibatnya bisa fatal. Saya sebetulnya bukan tak mau mengaku. Tapi, saya memang sangsi barang itu ada,” ujar Soebandrio. Dalam akhir wawancaranya, Soebandrio menegaskan kembali bahwa tidak ada Dana Revolusi atas nama dirinya.
Pada 20 Februari 2015, Tommy Soeharto juga menulis di akun Twitter-nya bahwa dana itu sudah digunakan untuk partai tertentu. “Sebagian dana itu digunakan untuk pembangunan perbaikan usai perang. Sisanya dibawa anak kesayangan dan digunakan untuk kendaraan pribadi,” tulis Tommy.
Itu artinya Dana Revolusi, menurut Tommy, sudah cair dan dibawa “anak kesayangan”, yang sebagian digunakan membiayai partai politik. Anak kesayangan siapa yang dimaksud? Apakah anak kesayangan Bung Karno, mengingat keputusan perlunya Dana Revolusi itu datang dari Bung Karno? Megawatikah yang dimaksud Tommy. Apakah partai politik yang dibiayai dari Dana Revolusi itu juga maksudnya PDIP, karena Megawati adalah Ketua Umum PDIP?
Kesan itu ke arah sana semakin kuat karena Tommy seakan memberi kode dengan frasa “keluarga yang tidak akur”. Karena, seperti diketahui, hubungan Megawati dan adiknya, Rachmawati, mengesankan ketidakakuran di antara mereka. Dalam kasus KPK-Polri saja, misalnya, Rachmawati kerap mengecam keras Megawati karena ia anggap sebagai biang keladi kekisruhan itu. Malah, pada 19 Februari 2015), Rachmawati menyebut Mega sebagai Ibu Budi Gunawan, komisaris jenderal polisi yang dicalonkan Presiden Joko untuk jadi Kapolri, namun dibatalkan meski DPR telah menyetujui.
“Budi Gunawan memiliki hubungan yang begitu erat dengan Ibu Budi. Dia mendapatkan privilese saat Ibu Budi menjadi presiden. Penunjukan BG sebagai calon Kapolri tidak terlepas dari tekanan Ibu Budi,” kata Rachmawati.
Jadi, benarkan keluarga tidak akur yang dimaksud itu adalah keluarga Bung Karno? Entahlah. Yang pasti, dalam twit selanjutnya, Tommy menulis, “Itu baru beberapa kata dari saya. Lain kali akan saya lanjutkan. Sebaiknya lain kali kalau tidak mau ditelanjangi jangan menelanjangi,” katanya.(nn/ermus)
0 comments:
Post a Comment