Keluarga mantan Presiden Soeharto tampaknya terus mencermati pengelolaan Indonesia di era reformasi. Tak hanya itu mereka juga sekaligus mencoba membuat semacam komparasi dengan kondisi saat Sang Ayah memimpin negeri ini selama 32 tahun dan kemudian dilengserkan dengan berbagai tuduhan negatif nan kasar.
Hutomo Mandala Putra (Tomy Soeharto), misalnya, tampaknya sangat kecewa dengan kondisi Partai Golkar yang dipecah belah. Wajar. Karena harus diakui Presiden kedua Indonesia itulah yang sangat berjasa menjadikan Golkar besar dan eksis hingga sekarang ini. Namun kini diporak-poranda oleh kerjasama antara para aktor di intern dengan elemen kekuasaan temporer di negeri ini.
Sementara Titiek Hediati Hariyadi (putri kedua Soeharto) memanfaatkan momentum peringatan 17 tahun reformasi untuk mengungkapkan bagian dari uneg-uneg-nya, dengan secara tegas menyatakan reformasi tidak banyak membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia. Masa Orde Baru yang dipimpin oleh ayahnya dianggap lebih baik daripada kondisi saat ini.
Sehingga tak heran jika banyak rakyat yang kembali rindu pada Soeharto dengan berbagai ekspresinya termasuk di dalamnya dituangkan melalui stiker dengan kalimat antara lain ‘enak zaman Pak Harto’. Kerinduan terhadap Soeharto jelas merupakan rendahnya pengakuan terhadap para pemimpin pengelola Indonesia di era reformasi ini.
Sebagai bagian dari pelaku gerakan yang dulu menghendaki perubahan melalui pergantian rezim, terus terang saya juga merasa sangat malu dengan pengelolaan negara di era reformasi ini. Kalau Soeharto diserang dan kemudian dilengserkan dengan tuduhan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), maka keadaannya sekarang justru sangat jauh lebih parah ketimbang era Orde Baru.
SEBAGAI ILUSTRASI, SAYA MENYAKSIKAN DENGAN MATA KEPALA SENDIRI SEORANG MANTAN BUPATI DUA PERIODE DI ERA SOEHARTO, JUSTRU SAMPAI BEROBAT SAKIT DAN LALU MENINGGAL HARUS MENJUAL RUMAH KEDIAMANNYA – YANG TERNYATA HANYA ITULAH SATU-SATU MILIK YANG SEBENARNYA DIHARAPKAN UNTUK DIWARISKAN UNTUK PUTRA-PUTRINYA. DIA MENJUALNYA KARENA MEMANG TAK PUNYA TABUNGAN LAGI UNTUK MEMBIAYAI PENGOBATAN ATAS DERITA SAKIT YANG DIALAMI SEBELUM AJAL MENJEMPUTNYA.
Mari kita telusuri juga jejak keluarga dan harta para mantan anggota DPR di era Orde Baru yang mungkin masih hidup atau keluarganya masih ada sekarang ini. Niscaya akan menemukan kondisi mereka sangat jarang yang hidup mewah, hidup bersahaja. Setidaknya mereka tidak berlimpah harta, bahkan sebagiannya barangkali berada dalam kondisi seperti rakyat biasa pada umumnya.
Mari kita bandingkan pula dengan para pejabat di era reformasi ini, mulai dari kepala daerah (gubernur, bupati, walikota), anggota DPRD, anggota DPR (barangkali juga anggota DPD), para menteri atau mantan menteri, para pejabat eselon satu dan dua, termasuk para pensiunan; akan sangat sulit menemukan mereka yang miskin harta.
Sebagian mereka sudah dibuktikan oleh PPATK sebagai pemilik rekening gendut – meskipun kemudian hingga hari ini tetap saja dibiarkan menikmati harta ilegal itu. Properti (rumah mewah, tanah luas, dan sejenisnya) bisa ditemukan di mana-mana, termasuk diperuntukan oleh istri-istri simpanan.
SINGKATNYA, WAH…, SUNGGUH SANGAT BERBEDA KONDISI SOSIAL EKONOMI PARA PEJABAT DI ERA REFORMASI INI DIBANDINGKAN DENGAN PARA PEJABAT DI ERA ORDE BARU, BAGAIKAN BUMI DAN LANGIT.
Tetapi semua mereka seolah-olah tak bersalah, apalagi berada pada pihak penguasa dan atau berkuasa. Semua bisa diatur. Penegak hukum bisa dikendalikan, selain tentu saja bisa diuangkan, sehingga tetap aman-aman saja walaupun memperoleh atau terus menikmati harta ilegal.
IRONISNYA, SEBAGIAN DARI MEREKA ITU TERLIBAT DALAM GERAKAN “ANTI SOEHARTO” ATAU PERNAH MENGATASNAMAKAN DIRI BERJUANG UNTUK BERANTAS KORUPSI. SUNGGUH KEMUNAFIKAN ITU KINI DIPERTONTONKAN, DAN TAK PERNAH MERASA RISIH DAN MALU, KARENA MEMANG TERUS SAJA DIBIARKAN.
Lalu mengapa kenyataan seperti ini terus bertahan. Memang tak sederhana penjelasannya. Tapi satu kalimat yang jadi kunci utamanya: pemimpin tertinggi negeri inilah yang terus saja membiarkan mereka.(cj)
Hutomo Mandala Putra (Tomy Soeharto), misalnya, tampaknya sangat kecewa dengan kondisi Partai Golkar yang dipecah belah. Wajar. Karena harus diakui Presiden kedua Indonesia itulah yang sangat berjasa menjadikan Golkar besar dan eksis hingga sekarang ini. Namun kini diporak-poranda oleh kerjasama antara para aktor di intern dengan elemen kekuasaan temporer di negeri ini.
Sementara Titiek Hediati Hariyadi (putri kedua Soeharto) memanfaatkan momentum peringatan 17 tahun reformasi untuk mengungkapkan bagian dari uneg-uneg-nya, dengan secara tegas menyatakan reformasi tidak banyak membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia. Masa Orde Baru yang dipimpin oleh ayahnya dianggap lebih baik daripada kondisi saat ini.
Sehingga tak heran jika banyak rakyat yang kembali rindu pada Soeharto dengan berbagai ekspresinya termasuk di dalamnya dituangkan melalui stiker dengan kalimat antara lain ‘enak zaman Pak Harto’. Kerinduan terhadap Soeharto jelas merupakan rendahnya pengakuan terhadap para pemimpin pengelola Indonesia di era reformasi ini.
Sebagai bagian dari pelaku gerakan yang dulu menghendaki perubahan melalui pergantian rezim, terus terang saya juga merasa sangat malu dengan pengelolaan negara di era reformasi ini. Kalau Soeharto diserang dan kemudian dilengserkan dengan tuduhan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), maka keadaannya sekarang justru sangat jauh lebih parah ketimbang era Orde Baru.
SEBAGAI ILUSTRASI, SAYA MENYAKSIKAN DENGAN MATA KEPALA SENDIRI SEORANG MANTAN BUPATI DUA PERIODE DI ERA SOEHARTO, JUSTRU SAMPAI BEROBAT SAKIT DAN LALU MENINGGAL HARUS MENJUAL RUMAH KEDIAMANNYA – YANG TERNYATA HANYA ITULAH SATU-SATU MILIK YANG SEBENARNYA DIHARAPKAN UNTUK DIWARISKAN UNTUK PUTRA-PUTRINYA. DIA MENJUALNYA KARENA MEMANG TAK PUNYA TABUNGAN LAGI UNTUK MEMBIAYAI PENGOBATAN ATAS DERITA SAKIT YANG DIALAMI SEBELUM AJAL MENJEMPUTNYA.
Mari kita telusuri juga jejak keluarga dan harta para mantan anggota DPR di era Orde Baru yang mungkin masih hidup atau keluarganya masih ada sekarang ini. Niscaya akan menemukan kondisi mereka sangat jarang yang hidup mewah, hidup bersahaja. Setidaknya mereka tidak berlimpah harta, bahkan sebagiannya barangkali berada dalam kondisi seperti rakyat biasa pada umumnya.
Mari kita bandingkan pula dengan para pejabat di era reformasi ini, mulai dari kepala daerah (gubernur, bupati, walikota), anggota DPRD, anggota DPR (barangkali juga anggota DPD), para menteri atau mantan menteri, para pejabat eselon satu dan dua, termasuk para pensiunan; akan sangat sulit menemukan mereka yang miskin harta.
Sebagian mereka sudah dibuktikan oleh PPATK sebagai pemilik rekening gendut – meskipun kemudian hingga hari ini tetap saja dibiarkan menikmati harta ilegal itu. Properti (rumah mewah, tanah luas, dan sejenisnya) bisa ditemukan di mana-mana, termasuk diperuntukan oleh istri-istri simpanan.
SINGKATNYA, WAH…, SUNGGUH SANGAT BERBEDA KONDISI SOSIAL EKONOMI PARA PEJABAT DI ERA REFORMASI INI DIBANDINGKAN DENGAN PARA PEJABAT DI ERA ORDE BARU, BAGAIKAN BUMI DAN LANGIT.
Tetapi semua mereka seolah-olah tak bersalah, apalagi berada pada pihak penguasa dan atau berkuasa. Semua bisa diatur. Penegak hukum bisa dikendalikan, selain tentu saja bisa diuangkan, sehingga tetap aman-aman saja walaupun memperoleh atau terus menikmati harta ilegal.
IRONISNYA, SEBAGIAN DARI MEREKA ITU TERLIBAT DALAM GERAKAN “ANTI SOEHARTO” ATAU PERNAH MENGATASNAMAKAN DIRI BERJUANG UNTUK BERANTAS KORUPSI. SUNGGUH KEMUNAFIKAN ITU KINI DIPERTONTONKAN, DAN TAK PERNAH MERASA RISIH DAN MALU, KARENA MEMANG TERUS SAJA DIBIARKAN.
Lalu mengapa kenyataan seperti ini terus bertahan. Memang tak sederhana penjelasannya. Tapi satu kalimat yang jadi kunci utamanya: pemimpin tertinggi negeri inilah yang terus saja membiarkan mereka.(cj)
0 comments:
Post a Comment