Imam Masjid Baitul Muttaqin, Ustadz Ali Muchtar dikabarkan telah melakukan pertemuan dengan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Kemanan (Kemenkopolhukam).
Pertemuan tersebut dihadiri pula oleh Bupati Tolikara, Usman G Wanimbo, Ketua Tim Pemulihan Tolikara, Edi Tasek, Pendeta Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Imanuel Ginungga, Kapolres Tolikara Ajun Komisaris Besar Musa Korwa, Anggota DPRD Tolikara dan lain-lain.
Sejumlah delegasi dari Tolikara itu diterima oleh Sekretaris Menkopolhukam, Letjen Eko Wiratmoko, pada hari Jum’at (4/9/2015).
Salah satu agenda yang dibahas dalam pertemuan tersebut adalah persiapan hari raya Idul Adha yang akan dilaksanakan oleh umat Islam di Tolikara.
“Mengenai rapat koordinasi dengan Kemenkopolhukam, berkaitan dengan shalat Idul Adha yang akan dilaksanakan pada 24 September 2015 di Tolikara,” kata Ustadz Ali Muchtar saat dihubungi Panjimas.com, Ahad (6/9/2015).
Berkaitan dengan pelaksanaan hari raya Idul Adha, pihak GIDI menyampaikan syarat tiga hal, agar shalat Idul Adha bisa berjalan dengan aman.
“Pertama, dari GIDI meminta pemulihan nama baik, seperti yang kita dengar di media GIDI itu intoleran dan dianggap sparatis,” ujar Ustadz Ali.
Kemudian, pihak GIDI juga meminta gereja GIDI yang sempat ditutup oleh umat Islam di Solo, lantara tak memiliki izin rumah ibadah, dibuka kembali.
“Kemudian GIDI yang ada di Solo minta dibuka yang selama ini ditutup,” imbuhnya.
Selaini itu, GIDI juga menuntut dibebaskannya dua orang tersangka yang terlibat dalam insiden penyerangan jamaah shalat Idul Fitri di Tolikara pada Jum’at 17 Juli 2015 lalu.
“Kedua, tahanan pemuda GIDI yang ditahan oleh Polda Papua diminta untuk dibebaskan. Kalau itu sudah dibebaskan, maka shalat Idul Adha silahkan dilaksanakan dan bisa aman seterusnya, dijamin,” ungkapnya.
Terakhir, GIDI meminta insiden Tolikara diselesaikan secara adat bukan melalui hukum positif yang berlaku di Indonesia.
“Ketiga, penyelesaian insiden Tolikara harus diselesaikan dengan adat, bukan melalui hukum postif,” ujarnya.
Pada pertemuan tersebut, sehubungan Menkopolhukam, tidak hadir, maka para delegasi Tolikara diminta menemui Luhut Panjaitan keesokan harinya.
Untuk diketahui, telah terjadi pelanggaran HAM terkait insiden Tolikara. Hal itu pernah disampaikan oleh Komnas HAM beberapa waktu lalu.
Insiden Tolikara terjadi, ketika umat Islam sedang melaksanakah shalat Idul Fitri, pada takbir ke tujuh, pukul tujuh, pada Jum’at (17/7/2015), mereka diserang oleh massa Kristen GIDI dengan lemparan batu.
Tak hanya itu, aksi penyerangan tersebut berbuntut pada pembakaran kios hingga merembet ke masjid Baitul Muttaqin, satu-satunya tempat ibadah kaum Muslimin yang berdiri di Karubaga, Tolikara.
Sebelum aksi penyerangan tersebut, beredar surat larangan pelaksanaan shalat Idul Fitri yang diterbitkan secara resmi oleh GIDI wilayah Tolikara.
Tak hanya itu, pemerintah setempat juga menerbitkan kebijakan intoleran, diantaranya melarang para Muslimah mengenakan jilbab di tempat umum. [AW]
Pertemuan tersebut dihadiri pula oleh Bupati Tolikara, Usman G Wanimbo, Ketua Tim Pemulihan Tolikara, Edi Tasek, Pendeta Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Imanuel Ginungga, Kapolres Tolikara Ajun Komisaris Besar Musa Korwa, Anggota DPRD Tolikara dan lain-lain.
Sejumlah delegasi dari Tolikara itu diterima oleh Sekretaris Menkopolhukam, Letjen Eko Wiratmoko, pada hari Jum’at (4/9/2015).
Salah satu agenda yang dibahas dalam pertemuan tersebut adalah persiapan hari raya Idul Adha yang akan dilaksanakan oleh umat Islam di Tolikara.
“Mengenai rapat koordinasi dengan Kemenkopolhukam, berkaitan dengan shalat Idul Adha yang akan dilaksanakan pada 24 September 2015 di Tolikara,” kata Ustadz Ali Muchtar saat dihubungi Panjimas.com, Ahad (6/9/2015).
Berkaitan dengan pelaksanaan hari raya Idul Adha, pihak GIDI menyampaikan syarat tiga hal, agar shalat Idul Adha bisa berjalan dengan aman.
“Pertama, dari GIDI meminta pemulihan nama baik, seperti yang kita dengar di media GIDI itu intoleran dan dianggap sparatis,” ujar Ustadz Ali.
Kemudian, pihak GIDI juga meminta gereja GIDI yang sempat ditutup oleh umat Islam di Solo, lantara tak memiliki izin rumah ibadah, dibuka kembali.
“Kemudian GIDI yang ada di Solo minta dibuka yang selama ini ditutup,” imbuhnya.
Selaini itu, GIDI juga menuntut dibebaskannya dua orang tersangka yang terlibat dalam insiden penyerangan jamaah shalat Idul Fitri di Tolikara pada Jum’at 17 Juli 2015 lalu.
“Kedua, tahanan pemuda GIDI yang ditahan oleh Polda Papua diminta untuk dibebaskan. Kalau itu sudah dibebaskan, maka shalat Idul Adha silahkan dilaksanakan dan bisa aman seterusnya, dijamin,” ungkapnya.
Terakhir, GIDI meminta insiden Tolikara diselesaikan secara adat bukan melalui hukum positif yang berlaku di Indonesia.
“Ketiga, penyelesaian insiden Tolikara harus diselesaikan dengan adat, bukan melalui hukum postif,” ujarnya.
Pada pertemuan tersebut, sehubungan Menkopolhukam, tidak hadir, maka para delegasi Tolikara diminta menemui Luhut Panjaitan keesokan harinya.
Untuk diketahui, telah terjadi pelanggaran HAM terkait insiden Tolikara. Hal itu pernah disampaikan oleh Komnas HAM beberapa waktu lalu.
Insiden Tolikara terjadi, ketika umat Islam sedang melaksanakah shalat Idul Fitri, pada takbir ke tujuh, pukul tujuh, pada Jum’at (17/7/2015), mereka diserang oleh massa Kristen GIDI dengan lemparan batu.
Tak hanya itu, aksi penyerangan tersebut berbuntut pada pembakaran kios hingga merembet ke masjid Baitul Muttaqin, satu-satunya tempat ibadah kaum Muslimin yang berdiri di Karubaga, Tolikara.
Sebelum aksi penyerangan tersebut, beredar surat larangan pelaksanaan shalat Idul Fitri yang diterbitkan secara resmi oleh GIDI wilayah Tolikara.
Tak hanya itu, pemerintah setempat juga menerbitkan kebijakan intoleran, diantaranya melarang para Muslimah mengenakan jilbab di tempat umum. [AW]
0 comments:
Post a Comment