Terjerat gara-gara temuan bus TransJakarta berkarat, Udar Pristono akhirnya dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi pengadaan bus TransJ tahun 2012 dan 2013. Majelis Hakim menyebut Pristono hanya melakukan kesalahan administratif.
"Dari persidangan diperoleh fakta hukum bahwa terdakwa menandatangani dokumen pencairan anggaran pengadaan 2012, tidak ada laporan kepada terdakwa mengenai adanya ketidaksesuaian hasil pekerjaan yang diperjanjikan dalam kontrak," kata Hakim Anggota Joko Subagyo membacakan pertimbangan atas dakwaan pertama mengenai korupsi TransJ di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (23/9/2015).
Menurut Majelis Hakim, keterangan Drajad Adhyaksa selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran pada pengadaan bus tahun 2013 mengenai laporan adanya ketidaksesuaian hasil pengadaan bus dengan perjanjian kontrak, harus dikesampingkan.
"Terdakwa membantah keterangan tersebut dan menyatakan bahwa seperti halnya pengadaan 2012 terdakwa tidak mendapat laporan ketidaksesuaian hasil pekerjaan dengan yang diperjanjikan dalam kontrak sehingga terdakwa menandatangani dokumen pencairan. Menimbang dikarenakan hanya saksi Drajad Adhyaksa yang menerangkan bahwa sebelum menandatangani dokumen pencairan anggaran 2013, saksi melaporkan adanya ketidaksesuaian hasil pengadaan dengan apa yang diperjanjikan dalam kontrak namun tidak didukung dengan bukti lain, maka keterangan saksi Drajad Adhyaksa harus dikesampingkan," papar Hakim Joko.
Pristono menurut Majelis Hakim memang punya kewajiban menandatangani dokumen pencairan anggaran. Namun tandatangan pencairan anggaran pengadaan bus yang hasilnya tidak sesuai kontrak dilakukan karena ketidaktahuan Pristono soal adanya permasalahan pengadaan.
"Dalam kewenangan delegasi, pihak yang harus bertanggung jawab terhadap tugas dan kewajiban yang sudah didelegasikan ada pada penerima delegasi, sehingga dalam hal ini terdakwa selaku pemberi delegasi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Menimbang dengan adanya pertimbangan pertimbangan hukum di atas, maka menurut Majelis perbuatan terdakwa selaku PA dalam menandatangani dokumen pencairan anggaran busway tahun 2012 dan 2013 bukanlah merupakan tindak pidana,yang termasuk ranah administratif sehingga terdakwa tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana," ujar Hakim Joko.
Pristono hanya dinyatakan terbukti pada dakwaan kedua subsidair yakni menerima duit gratifikasi Rp 78 juta dari selisih harga penjualan mobil dinas berplat merah merk Toyota Kijang tipe LSX Tahun 2002 yang dijual pada tahun 2012 ke Yeddie Kuswandy Direktur PT Jati Galih Semesta.
Atas perbuatannya, Pristono dihukum 5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsidair 5 bulan kurungan. Vonis ini mengejutkan karena Pristono sebelumnya dituntut Jaksa pada Kejagung dengan hukuman 19 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. (fdn/hri/detik)
"Dari persidangan diperoleh fakta hukum bahwa terdakwa menandatangani dokumen pencairan anggaran pengadaan 2012, tidak ada laporan kepada terdakwa mengenai adanya ketidaksesuaian hasil pekerjaan yang diperjanjikan dalam kontrak," kata Hakim Anggota Joko Subagyo membacakan pertimbangan atas dakwaan pertama mengenai korupsi TransJ di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (23/9/2015).
Menurut Majelis Hakim, keterangan Drajad Adhyaksa selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran pada pengadaan bus tahun 2013 mengenai laporan adanya ketidaksesuaian hasil pengadaan bus dengan perjanjian kontrak, harus dikesampingkan.
"Terdakwa membantah keterangan tersebut dan menyatakan bahwa seperti halnya pengadaan 2012 terdakwa tidak mendapat laporan ketidaksesuaian hasil pekerjaan dengan yang diperjanjikan dalam kontrak sehingga terdakwa menandatangani dokumen pencairan. Menimbang dikarenakan hanya saksi Drajad Adhyaksa yang menerangkan bahwa sebelum menandatangani dokumen pencairan anggaran 2013, saksi melaporkan adanya ketidaksesuaian hasil pengadaan dengan apa yang diperjanjikan dalam kontrak namun tidak didukung dengan bukti lain, maka keterangan saksi Drajad Adhyaksa harus dikesampingkan," papar Hakim Joko.
Pristono menurut Majelis Hakim memang punya kewajiban menandatangani dokumen pencairan anggaran. Namun tandatangan pencairan anggaran pengadaan bus yang hasilnya tidak sesuai kontrak dilakukan karena ketidaktahuan Pristono soal adanya permasalahan pengadaan.
"Dalam kewenangan delegasi, pihak yang harus bertanggung jawab terhadap tugas dan kewajiban yang sudah didelegasikan ada pada penerima delegasi, sehingga dalam hal ini terdakwa selaku pemberi delegasi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Menimbang dengan adanya pertimbangan pertimbangan hukum di atas, maka menurut Majelis perbuatan terdakwa selaku PA dalam menandatangani dokumen pencairan anggaran busway tahun 2012 dan 2013 bukanlah merupakan tindak pidana,yang termasuk ranah administratif sehingga terdakwa tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana," ujar Hakim Joko.
Pristono hanya dinyatakan terbukti pada dakwaan kedua subsidair yakni menerima duit gratifikasi Rp 78 juta dari selisih harga penjualan mobil dinas berplat merah merk Toyota Kijang tipe LSX Tahun 2002 yang dijual pada tahun 2012 ke Yeddie Kuswandy Direktur PT Jati Galih Semesta.
Atas perbuatannya, Pristono dihukum 5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsidair 5 bulan kurungan. Vonis ini mengejutkan karena Pristono sebelumnya dituntut Jaksa pada Kejagung dengan hukuman 19 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. (fdn/hri/detik)
0 comments:
Post a Comment