Hasil Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang, Jawa Timur, yang berlangsung pada 1-6 Agustus 2015, resmi digugat di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
“Gugatan resmi sudah dimasukkan ke PN Jakarta Pusat pada Kamis (3/9) lalu oleh pengacara Irma Mayasari,” kata Juru Bicara Forum Lintas Pengurus Wilayah NU (FL-PWNU), Halim Machfudz, dalam keterangan pers kepada Antara di Surabaya, Jumat.
Selain Irma, mantan Ketua LBH NU Soleh Amin juga tergabung dalam tim hukum yang mewakili penggugat dari PWNU dan PCNU yang tergabung dalam Forum Lintas PWNU atau FL-PWNU selaku peserta sah Muktamar Ke-33 NU.
Ia menjelaskan gugatan atas dugaan perbuatan melawan hukum itu ditujukan kepada tiga pihak yakni KH. Said Aqil Siradj selaku Ketua Umum PBNU 2010-2015 dan pihak yang mengaku Ketua Umum PBNU 2015-2020, kemudian Imam Aziz selaku ketua panitia nasional muktamar dan Saifullah Yusuf sebagai ketua panitia daerah.
“Materi gugatan yang dilaporkan adalah berbagai pelanggaran hukum dalam proses pelaksanaan Muktamar NU,” katanya.
Berbagai pelanggaran itu di antaranya pemaksaan penerapan sistem ahlul halli wal aqdi (AHWA), manipulasi tabulasi anggota AHWA, adanya peserta siluman, mekanisme persidangan yang tidak prosedural, klaim penerimaan laporan pertanggungjawaban tanpa adanya pemandangan umum peserta muktamar serta pelaksanaan voting pengambilan keputusan yang tidak fair.
Misalnya, saat muncul sembilan nama teratas calon AHWA hasil tabulasi panitia menimbulkan kecurigaan, karena hasil voting tipis yang menyetujui AHWA ditentukan oleh dukungan satu utusan wilayah dan 29 cabang di Papua, padahal jumlah seperti itu untuk Rais Syuriah di Papua tentu patut dipertanyakan.
Penggugat juga mempersoalkan pengesahan materi keagamaan pada komisi bahtsul masail diniyah maudhu’iyah tentang khashaish (kekhususan) ahl al-sunnah wa al-jamaah (Aswaja) yang tidak sesuai dengan substansi dalam AD/ART NU, khittah nahdliyah dan juga rujukan dalam kitab KH Hasyim Asy’ari, yakni risalah ahl al-sunnah wa al-jama’ah yang selama ini menjadi pegangan penggugat dan warga nahdliyin pada umumnya.
“Pengesahan kekhususan aswaja yang tidak sesuai itu sama saja dengan pembelokan asas NU. Itu sama saja dengan mengubah Pancasila kalau konteks bernegara Indonesia,” ujarnya.
Oleh karenanya, penggugat meminta kepada majelis hakim untuk menyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat proses pelaksanaan dan hasil-hasil dan/atau keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh Muktamar Ke-33 NU itu.
“Kami juga meminta agar majelis hakim memerintahkan kepada Negara (pemerintah) dalam hal ini MenkumHAM untuk tidak menyetujui dan/atau mengesahkan perubahan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, Kepengurusan NU dan/atau Hasil-Hasil Keputusan Muktamar Ke-33 NU sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht),” tukasnya. (Antara/NUgl)
0 comments:
Post a Comment