Menkumham Yasonna H Laoly menekankan perlunya pasal penghinaan terhadap presiden. Tanpa itu, orang bakal seenaknya menyerang simbol negara. Bagaimana jika ada yang menghina dirinya? Menteri Yasonna menjawab, “akan saya uber ke liang lahat.”
Yasonna menyebut, harus dibedakan antara kritik dan penghinaan. Kritik dalam konteks jabatan dan pekerjaan, boleh dilakukan. Misal, Yasonna menyebut, jika dia dikritik lantaran sebagai Menkumham kerjanya dianggap tak becus.
“Kalau dikritik tidak ada hasil kerja, ngurus lapas nggak pernah, apa saja, itu tidak apa. Itu urusan pekerjaan,” ujar Yasonna di Kemenkumham, kemarin.
Tapi, jika pribadinya yang diserang, Yasonna menyebut itu adalah bentuk penghinaan. Apalagi, jika cenderung menjurus ke fitnah. Misal, jika ada yang menyatakan Yasonna tukang kawin, atau punya anak yang tidak sah. Yasonna, sudah pasti bakal menindaknya.
“Kalau anda mengatakan Laoly penipu, tukang kawin, punya anak tak sah. Hati-hati sama saya. Saya kejar sampai ke liang lahat sudah. Ini fitnah yang tidak beralasan,” tegasnya.
Nah, begitu pun dengan Presiden. Boleh saja mengkritik jika terkait dengan jabatan dan pekerjaannya. Namun, jika menyerang pribadi Jokowi, pasal itu bakal menjerat si penyerang.
Tanpa pasal itu, Yasonna khawatir orang bakal seenak perut menghina kepala negara. “Level keberadaan menggunakan kata-kata harus kita jaga,” imbuhnya.
Yasonna menegaskan, pasal penghinaan terhadap presiden telah dimasukkan dalam RUU KUHP untuk direvisi sejak pemerintahan Presiden SBY. “Ini belum sempat dibahas tapi sudah ada sejak dulu. Belum sempat dibahas,” ujar Yasonna.
Dalam Pasal 263 RUU KUHP ayat 1 yang disiapkan pemerintah, disebutkan bahwa ‘setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.’
Dalam ayat selanjutnya ditambahkan, ‘Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.’
Karena itu Yasonna meminta masyarakat untuk tak langsung menuding Jokowi yang berupaya menghidupkan pasal yang pernah dihapus MK itu. “Jangan ada kesan seolah-olah pemerintah mengajukan kembali pasal itu agar hidup,” tegasnya.
Anggota Tim Perancang RUU KUHP Kemenkumham Herkristuti mengatakan upaya menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden sudah melalui diskusi panjang berdasarkan pendalaman putusan MK.
“Walaupun Pasal 134 dan kawan-kawan dihapus, tetapi dipertahankan Pasal 207, termasuk penghinaan kepada penguasa,” ujarnya.
Menurutnya dalam usulan tersebut pasal yang akan diterapkan merupakan delik biasa. Dia menjelaskan apabila tidak ada korban yang melaporkan maka pelaku tidak bisa dipidanakan.
Dia menyebut, dalam Pasal 142,143,144 KUHP penghinaan terhadap kepala negara sahabat, bahkan benderanya, bisa dilaporkan dan dipidanakan. Maka akan aneh jika untuk kepala negara sendiri hal itu tidak berlaku.
“Pertimbangannya kenapa kepala negara asing dilindungi tapi kepala negara kita tidak. Penghinaan presiden di negara kita sudah sampai derajat merendahkan,” tandasnya.(RMOL)
Yasonna menyebut, harus dibedakan antara kritik dan penghinaan. Kritik dalam konteks jabatan dan pekerjaan, boleh dilakukan. Misal, Yasonna menyebut, jika dia dikritik lantaran sebagai Menkumham kerjanya dianggap tak becus.
“Kalau dikritik tidak ada hasil kerja, ngurus lapas nggak pernah, apa saja, itu tidak apa. Itu urusan pekerjaan,” ujar Yasonna di Kemenkumham, kemarin.
Tapi, jika pribadinya yang diserang, Yasonna menyebut itu adalah bentuk penghinaan. Apalagi, jika cenderung menjurus ke fitnah. Misal, jika ada yang menyatakan Yasonna tukang kawin, atau punya anak yang tidak sah. Yasonna, sudah pasti bakal menindaknya.
“Kalau anda mengatakan Laoly penipu, tukang kawin, punya anak tak sah. Hati-hati sama saya. Saya kejar sampai ke liang lahat sudah. Ini fitnah yang tidak beralasan,” tegasnya.
Nah, begitu pun dengan Presiden. Boleh saja mengkritik jika terkait dengan jabatan dan pekerjaannya. Namun, jika menyerang pribadi Jokowi, pasal itu bakal menjerat si penyerang.
Tanpa pasal itu, Yasonna khawatir orang bakal seenak perut menghina kepala negara. “Level keberadaan menggunakan kata-kata harus kita jaga,” imbuhnya.
Yasonna menegaskan, pasal penghinaan terhadap presiden telah dimasukkan dalam RUU KUHP untuk direvisi sejak pemerintahan Presiden SBY. “Ini belum sempat dibahas tapi sudah ada sejak dulu. Belum sempat dibahas,” ujar Yasonna.
Dalam Pasal 263 RUU KUHP ayat 1 yang disiapkan pemerintah, disebutkan bahwa ‘setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.’
Dalam ayat selanjutnya ditambahkan, ‘Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.’
Karena itu Yasonna meminta masyarakat untuk tak langsung menuding Jokowi yang berupaya menghidupkan pasal yang pernah dihapus MK itu. “Jangan ada kesan seolah-olah pemerintah mengajukan kembali pasal itu agar hidup,” tegasnya.
Anggota Tim Perancang RUU KUHP Kemenkumham Herkristuti mengatakan upaya menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden sudah melalui diskusi panjang berdasarkan pendalaman putusan MK.
“Walaupun Pasal 134 dan kawan-kawan dihapus, tetapi dipertahankan Pasal 207, termasuk penghinaan kepada penguasa,” ujarnya.
Menurutnya dalam usulan tersebut pasal yang akan diterapkan merupakan delik biasa. Dia menjelaskan apabila tidak ada korban yang melaporkan maka pelaku tidak bisa dipidanakan.
Dia menyebut, dalam Pasal 142,143,144 KUHP penghinaan terhadap kepala negara sahabat, bahkan benderanya, bisa dilaporkan dan dipidanakan. Maka akan aneh jika untuk kepala negara sendiri hal itu tidak berlaku.
“Pertimbangannya kenapa kepala negara asing dilindungi tapi kepala negara kita tidak. Penghinaan presiden di negara kita sudah sampai derajat merendahkan,” tandasnya.(RMOL)
0 comments:
Post a Comment