Mantan Wali Kota Tangerang yang kini menjabat Pimpinan Komisi II DPR, Wahidin Halim mengklarifikasi soal pemberitaan di Republika Online (ROL) pada Senin dan Selasa, 24 dan 25 Agustus 2015. Dua berita itu berjudul “Ahok Pernah Tegur Wali Kota Tangerang Karena Ingin Gusur Warga Cina Benteng” dan “Ahok Tolak Samakan Penggusuran Kampung Pulo dengan Cina Benteng.”
"Maka, saya yang disebut dalam pemberitaan menyampaikan tanggapan, sanggahan, dan klarifikasi sebagai bentuk Hak Jawab sebagaimana diatur dalam pada Ayat (2) pasal 5 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Hak Jawab," tulis Wahidin kepada Rol, Rabu, kemarin.
Ada enam poin yang disampaikan Wahidin terkait protes Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada 2010, lalu. Saat itu, Ahok adalah anggota Komisi II DPR. Wahidin juga mengkaitkan kritik Ahok tersebut dengan usaha Pemerintah DKI yang tengah menggusur Kampung Pulo, Jakarta Timur.
Berikut kutipan enam poin yang disampaikan Wahidin:
1. Pada peristiwa penggusuran warga Kampung Pulo Jakarta Timur oleh aparat Pemprov DK Jakarta yang dipimpin Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang secara faktual terjadi tindakan represif berakibat bentrok fisik dan memakan korban warga. Saya, baik dalam kapasitas pribadi maupun Wakil Ketua Komisi II DPR RI dengan tegas mengecam tindakan represif tersebut. Sebagaimana kecaman serupa juga banyak disampaikan oleh para tokoh, organisasi, maupun warga masyarakat lainnya. Jadi, yang saya dan masyarakat kritisi dan kecam adalah tindakan represif aparat terhadap warga.
2. Sebagai mantan Walikota Tangerang yang pernah dimaki-maki Ahok (Anggota Komisi II DPR saat itu) pada rapat Komisi II terkait kebijakan Pemkot Tangerang yang akan melakukan normalisasi sungai Cisadane sekitar tahun 2010 yang menggusur bangunan yang berada di bantaran Kali Cisadane Kota Tangerang karena melewati Garis Sempadan Sungai (GSS). Walaupun, saat ini Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta melakukan penggusuran warga Kampung Pulo Jakarta Timur, dan saya sebagai pimpinan Komisi II DPR RI, saya tidak memaki-maki Ahok, tapi hanya berdoa semoga Ahok sadar bahwa memimpin kota dan mengurus rakyat itu tidak gampang. Terlebih ketika mengambil kebijakan yang dinilai melukai hati nurani rakyat.
3. Terkait kebijakan penggusuran bangunan warga di bantaran kali Cisadane saat saya menjadi Wali Kota Tangerang adalah bukan tindakan represif, intimidatif dan tidak menimbulkan korban fisik seperti kasus Kampung Pulo, serta sudah sesuai dengan aturan dan tahapan yang benar. Dan setelah melalui komunikasi yang intens dengan melibatkan beberapa pihak terkait, akhirnya warga secara sadar meninggalkan lahan tersebut sampai sekarang, bahkan ada yang membongkar sendiri bangunannya. Hal inipun sempat dibahas saat rapat dengan Komisi II DPR RI dan sudah clear serta kebijakannya bisa dipahami, karena secara nyata bangunan tersebut telah melanggar Garis Sepandan Sungai (GSS) 20 meter yang membahayakan keselamatan warga, sedangkan saat itu sedang musim hujan yang berpotensi banjir sehingga dilakukan normalisasi sungai Cisadane.
4. Kebijakan penggusuran oleh Pemkot Tangerang bukanlah terhadap permukiman warga, apalagi Ahok menyebut-nyebut sebagai permukiman warga Cina Benteng, tapi ada juga masyarakat urban dari berbagai suku yang mendirikan bangunan, kandang/ternak babi ilegal/tanpa izin (IMB) dan melanggar garis sempadan (GSS) serta tidak memiliki bukti kepemilikan lahan. Walaupun, akhirnya warga juga sadar bahwa selama beberapa tahun mereka memang telah menempati lahan dan mendirikan bangunan pada lahan yang bukan haknya.
5. Terkait kondisi warga keturunan atau Cina Benteng yang disebut Ahok, sebenarnya sudah sejak lama tinggal secara resmi dan damai di lokasi tanah milik masing-masing, yang bukan di bantaran kali Cisadane yang melanggar GSS tersebut. Bahkan sejak zaman Belanda warga Cina Benteng sudah menjadi warga Kota Tangerang yang hidup dengan rukun dan damai, serta sebagian lahan di wilayah Kecamatan Neglasari telah dikuasai secara sah oleh warga keturunan. Jadi, tidak benar ada sikap diskriminatif dan intimidatif saat penggusuran terhadap warga Cina Benteng, justru Ahok lah saat itu yang mulai membesar-besarkan isu tersebut seakan-akan terjadi penggusuran warga Cina Benteng. Hingga terkesan ada isu SARA yang sempat dipelintir oleh beberapa media. Bahkan Pemkot Tangerang sempat menyampaikan klarifikasi dan somasi kepada beberapa media massa yang memuat berita tersebut.
6. Adanya statement Ahok terkait ganti rugi warga yang bangunannya melanggar Garis Sempadan (GSS) di bantaran Kali Cisadane dari dana APBD adalah tidak bisa dibenarkan, inipun setelah pihak Pemkot Tangerang berkonsultasi dengan pihak penegak hukum seperti Kejaksaan dan BPK RI, bahkan kepada Komisi II saat rapat yang dipimpin oleh Bapak DR.H. Chairuman Harahap, SH, MH (Ketua Komisi II DPR RI saat itu), dan semuanya memahami dan melarang penggunaan dana APBD yang tidak sesuai aturan. Termasuk untuk dana kerohiman yang disebut-sebut oleh Ahok itu melanggar hukum. Saya menduga Ahok keliru atau tidak faham dengan menyatakan bahwa dana kerohiman saat itu (2010) telah ada di APBD Kota Tangerang dan bisa dikeluarkan, padahal tidak ada dalam APBD. Kecuali lahan dan bangunan tersebut memiliki izin dan ada bukti kepemilikan berupa sertifikat tanah dll. Terlebih, tidak ada istilah dana kerohiman dalam struktur dan nomenklatur APBD sebagaimana aturan yang berlaku. Coba saja sekarang, mana berani Ahok keluarkan dana kerohiman dari APBD DKI buat warga Kampung Pulo yang bukan pemilik sah lahan tersebut?
ROL
"Maka, saya yang disebut dalam pemberitaan menyampaikan tanggapan, sanggahan, dan klarifikasi sebagai bentuk Hak Jawab sebagaimana diatur dalam pada Ayat (2) pasal 5 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Hak Jawab," tulis Wahidin kepada Rol, Rabu, kemarin.
Ada enam poin yang disampaikan Wahidin terkait protes Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada 2010, lalu. Saat itu, Ahok adalah anggota Komisi II DPR. Wahidin juga mengkaitkan kritik Ahok tersebut dengan usaha Pemerintah DKI yang tengah menggusur Kampung Pulo, Jakarta Timur.
Berikut kutipan enam poin yang disampaikan Wahidin:
1. Pada peristiwa penggusuran warga Kampung Pulo Jakarta Timur oleh aparat Pemprov DK Jakarta yang dipimpin Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang secara faktual terjadi tindakan represif berakibat bentrok fisik dan memakan korban warga. Saya, baik dalam kapasitas pribadi maupun Wakil Ketua Komisi II DPR RI dengan tegas mengecam tindakan represif tersebut. Sebagaimana kecaman serupa juga banyak disampaikan oleh para tokoh, organisasi, maupun warga masyarakat lainnya. Jadi, yang saya dan masyarakat kritisi dan kecam adalah tindakan represif aparat terhadap warga.
2. Sebagai mantan Walikota Tangerang yang pernah dimaki-maki Ahok (Anggota Komisi II DPR saat itu) pada rapat Komisi II terkait kebijakan Pemkot Tangerang yang akan melakukan normalisasi sungai Cisadane sekitar tahun 2010 yang menggusur bangunan yang berada di bantaran Kali Cisadane Kota Tangerang karena melewati Garis Sempadan Sungai (GSS). Walaupun, saat ini Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta melakukan penggusuran warga Kampung Pulo Jakarta Timur, dan saya sebagai pimpinan Komisi II DPR RI, saya tidak memaki-maki Ahok, tapi hanya berdoa semoga Ahok sadar bahwa memimpin kota dan mengurus rakyat itu tidak gampang. Terlebih ketika mengambil kebijakan yang dinilai melukai hati nurani rakyat.
3. Terkait kebijakan penggusuran bangunan warga di bantaran kali Cisadane saat saya menjadi Wali Kota Tangerang adalah bukan tindakan represif, intimidatif dan tidak menimbulkan korban fisik seperti kasus Kampung Pulo, serta sudah sesuai dengan aturan dan tahapan yang benar. Dan setelah melalui komunikasi yang intens dengan melibatkan beberapa pihak terkait, akhirnya warga secara sadar meninggalkan lahan tersebut sampai sekarang, bahkan ada yang membongkar sendiri bangunannya. Hal inipun sempat dibahas saat rapat dengan Komisi II DPR RI dan sudah clear serta kebijakannya bisa dipahami, karena secara nyata bangunan tersebut telah melanggar Garis Sepandan Sungai (GSS) 20 meter yang membahayakan keselamatan warga, sedangkan saat itu sedang musim hujan yang berpotensi banjir sehingga dilakukan normalisasi sungai Cisadane.
4. Kebijakan penggusuran oleh Pemkot Tangerang bukanlah terhadap permukiman warga, apalagi Ahok menyebut-nyebut sebagai permukiman warga Cina Benteng, tapi ada juga masyarakat urban dari berbagai suku yang mendirikan bangunan, kandang/ternak babi ilegal/tanpa izin (IMB) dan melanggar garis sempadan (GSS) serta tidak memiliki bukti kepemilikan lahan. Walaupun, akhirnya warga juga sadar bahwa selama beberapa tahun mereka memang telah menempati lahan dan mendirikan bangunan pada lahan yang bukan haknya.
5. Terkait kondisi warga keturunan atau Cina Benteng yang disebut Ahok, sebenarnya sudah sejak lama tinggal secara resmi dan damai di lokasi tanah milik masing-masing, yang bukan di bantaran kali Cisadane yang melanggar GSS tersebut. Bahkan sejak zaman Belanda warga Cina Benteng sudah menjadi warga Kota Tangerang yang hidup dengan rukun dan damai, serta sebagian lahan di wilayah Kecamatan Neglasari telah dikuasai secara sah oleh warga keturunan. Jadi, tidak benar ada sikap diskriminatif dan intimidatif saat penggusuran terhadap warga Cina Benteng, justru Ahok lah saat itu yang mulai membesar-besarkan isu tersebut seakan-akan terjadi penggusuran warga Cina Benteng. Hingga terkesan ada isu SARA yang sempat dipelintir oleh beberapa media. Bahkan Pemkot Tangerang sempat menyampaikan klarifikasi dan somasi kepada beberapa media massa yang memuat berita tersebut.
6. Adanya statement Ahok terkait ganti rugi warga yang bangunannya melanggar Garis Sempadan (GSS) di bantaran Kali Cisadane dari dana APBD adalah tidak bisa dibenarkan, inipun setelah pihak Pemkot Tangerang berkonsultasi dengan pihak penegak hukum seperti Kejaksaan dan BPK RI, bahkan kepada Komisi II saat rapat yang dipimpin oleh Bapak DR.H. Chairuman Harahap, SH, MH (Ketua Komisi II DPR RI saat itu), dan semuanya memahami dan melarang penggunaan dana APBD yang tidak sesuai aturan. Termasuk untuk dana kerohiman yang disebut-sebut oleh Ahok itu melanggar hukum. Saya menduga Ahok keliru atau tidak faham dengan menyatakan bahwa dana kerohiman saat itu (2010) telah ada di APBD Kota Tangerang dan bisa dikeluarkan, padahal tidak ada dalam APBD. Kecuali lahan dan bangunan tersebut memiliki izin dan ada bukti kepemilikan berupa sertifikat tanah dll. Terlebih, tidak ada istilah dana kerohiman dalam struktur dan nomenklatur APBD sebagaimana aturan yang berlaku. Coba saja sekarang, mana berani Ahok keluarkan dana kerohiman dari APBD DKI buat warga Kampung Pulo yang bukan pemilik sah lahan tersebut?
ROL
0 comments:
Post a Comment