Mencuatnya berita dan tulisan di media online belakangan ini mengenai keraguan akan pembantaian Rohingya yang terjadi di Rakhine State, Myanmar telah mengejutkan kalangan pegiat hukum dan hak asasi manusia.
Pasalnya, berita dan tulisan tersebut memuat pernyataan dan komentar kontroversial yang seolah-olah ingin menegaskan bahwa fakta dan informasi mengenai pembantaian terhadap Rohingya di negara bagian Rakhine, adalah bohong.
Dikutip media online Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Ahad malam (31/5), Jakarta, Ketua Divisi Relawan MER-C, dr. Tonggo Meaty Fransisca yang mengaku dua kali berhasil masuk ke negara bagian Rakhine, Myanmar, mengatakan tidak temukan cerita pembantaian terhadap Muslim di sana.
“Yang salah dari pemberitaan media adalah pada 2012 diberitakan banyak pembantaian Muslim yang tergeletak di mana-mana. Tapi saat kami datang ke Myanmar, kami tidak menemukan,” kata Meaty yang dikutip ACW dari MINA.
“Tidak ada berita itu, bahkan orang-orang Muslim yang ada di Myanmar tidak pernah mendengar berita itu,” kata dokter wanita MER-C ini.
Namun anehnya, ia kemudian mengakui adanya bukti bekas-bekas pembakaran masjid dan rumah-rumah warga di Rakhine.
“Bekas masjid dibakar ada, bekas kuil dibakar juga ada, dan rumah-rumah di perkampungan,” katanya.
Dia menuding adanya pihak ketiga yang sengaja menyebarkan berita pembantaian terhadap Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar.
“Ketika kami masuk, kami tanya yang dibakar di mana, ternyata tidak ada yang dibakar. Itu yang mengatakan orang Rohingya sendiri di dalam kamp,” tegasnya.
Mengejutkan
Pegiat hukum dan HAM, Heri Aryanto, yang pernah melakukan investigasi langsung di Sittwe, Meikhtila, dan Yangon bulan Mei 2013 mengatakan ia menerima bukti-bukti pembantaian, kesaksian-kesaksian, dan cerita mengenai pembantaian etnis Muslim Rohingya oleh penduduk mayoritas (Burmese) yang disponsori oleh pemerintah Myanmar.
Ia sangat menyayangkan adanya pernyataan-pernyataan yang hanya didasarkan pada alasan “tidak menemukan cerita” lalu menganggap tak ada pembantaian di Rohingya.
“PBB saja setelah melihat langsung ke lokasi konflik di Sittwe (Ibukota Rakhine State-red) mengatakan bahwa Rohingya adalah etnis paling teraniaya di muka bumi,” tegasnya.
Tidak hanya pembantaian, Heri juga mendapati bukti dan cerita mengenai pembatasan gerakan Rohingya di dalam wilayah Rakhine dan pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan Rohingya, baik ketika berada di Myanmar maupun pada saat melakukan investigasi di tempat terdamparnya Rohingya di Aceh dan Medan pada tahun 2013 dan 2015.
Heri juga mempertanyakan apakah orang-orang yang memberikan pernyataan dan komentar tersebut benar-benar telah mengetahui dan melihat langsung kondisi Rohingya ke wilayah konflik di Rakhine State, atau hanya berdasarkan cerita orang-orang dari luar Rakhine.
"Kalau benar-benar telah mengetahui dan menyaksikan sendiri kondisi Rohingya di Rakhine State, maka pastinya mereka akan sungkan memberikan pernyataan seperti itu," imbuh Heri.
"Mereka membunuh kami"
Pernyataan dokter relawan MER-C yang menyatakan bahwa tidak ada pembantaian di wilayah Rakhine Myanmar, membuat pengungsi Muslim Rohingya merasa terpukul.
Bagi mereka, tuduhan seperti itu membuat mereka merasa tidak dianggap karena faktanya insiden pembantaian adalah salah satu alasan warga Rohingya melarikan diri dari Rakhine.
Beberapa pengungsi Rohingya asal Rakhine Myanmar dengan tegas menyatakan bahwa peristiwa pembantaian, pembakaran, pembunuhan bahkan perkosaan oleh kaum ekstrimis Buddha terhadap Muslim Rohingya adalah fakta yang tidak bisa ditutup-tutupi lagi.
Kesaksian seorang pengungsi bernama Hasan Ali di kamp pengungsian desa Bayeun Aceh Timur, membuat darah serasa mendidih saat ia menceritakan bagaimana perlakukan kaum Buddha ekstrimis terhadap umat Islam di Rakhine Myanmar.
“Mereka (kaum Buddha) membunuh kami,” tegas pria yang bisa sedikit berbahasa Melayu ini, Selasa, sore kemarin (2/6/2015).
Hasan Ali di kamp pengungsian desa Bayeun Aceh Timur
Dengan penuh emosi, Ali menggambarkan bagaimana pembantaian di Rakhine terjadi, di mana ketika umat Islam sedang shalat di masjid, para pengikut Buddha mengunci pintu masjid dan membakarnya dari luar, sehingga warga Rohingya yang berada di dalam masjid tewas terpanggang.
Sasaran kelompok Buddha radikal ini tidak hanya masjid, tapi rumah-rumah warga Muslim juga ikut dibakar sehingga memicu perlawanan dari umat Islam.
Meskipun, kata Hassan, warga Rohingya sadar perlawanan mereka dengan mudah dikalahkan karena kaum Buddha ekstrimis didukung oleh aparat keamanan yang seharusnya menjadi pelindung warga.
Sumber: atjehcyber
0 comments:
Post a Comment